Mahasiswa Kelimpungan: Kampus Menuntut Literasi, Aparat Mereduksi Literasi
Mahasiswa Kelimpungan: Kampus Menuntut Literasi, Aparat Mereduksi Literasi
Dunia kampus adalah dunia di mana seorang mahasiswa akan berproses menuju sarjana, sederhananya seperti itu. Namun kenyataannya, kampus merupakan sebuah miniatur kehidupan kelak. Banyak hal yang perlu dipelajari selama di kampus, salah satunya dengan kegiatan literasi. Kegiatan literasi merupakan memang sebuah hal yang paling mencolok, antara seseorang sudah terjun ke dalam dunia kampus dengan yang tidak bisa dibedakan dengan sebuah tingkat literasi. Hal itu memang menjadi sebuah tuntutan bagi seorang mahasiswa guna menyelami pengetahuan secara komprehensif. Namun hal itu justru menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi para aparatur pemerintah. Ketakutan tersebut dimanifestasikan dengan penyitaan buku-buku, yang merupakan sebagai wadah seorang mahasiswa dalam meningkatkan pengetahuannya.
Buku Disita, Anak Bangsa Menderita Aksara!
“Duarrr”, begitulah kiranya bunyi dari beceng Sang Pengendali Air dari atas mobil berplat merah. Suara tersebut bersatu padu dengan nyanyian buruh tani di dalam satu arena pergulatan clash of clans, yaitu pihak “Pelindung Hokage” dan pihak “Martin Luther dkk”. Perseteruan itu bukanlah hal yang terjadi secara spontan tanpa hal yang bersifat kausalitatif. Semua itu terjadi dengan prinsip asal muasal seperti asal muasal adanya seorang bayi. Sudah dapat dipastikan hal itu terjadi dengan sebuah hubungan kausalitas. Namun perbedaannya hanyalah yang satu tidak ada chemistry, akan tetapi yang satunya lagi terbangun sebuah chemistry yang sangat baik antar dua pihak.
Perseteruan clash of clans tersebut disebabkan dengan adanya peluncuran Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan RUU Ciptaker atau Omnibus Law. Launching RUU Ciptaker yang dinilai sangat menindas rakyat sudah menjadi keharusan bagi rakyat untuk menyuarakan haknya kepada “para hokage” yang sedang duduk di bangku parlemen. Rakyat merasa RUU Ciptaker sungguh sangat menyiksa mereka, terlebih kaum buruh yang terancam tidak ada pengangkatan karyawan tetap. Para buruh yang bekerja tiap hari dengan mengerahkan seluruh tenaganya demi diangkat menjadi karyawan tetap terancam nihil. Kebijakan pemerintah yang sangat kontroversi di kala pandemi ini menuai banyak kecaman dari banyak kalangan, terlebih mereka yang berada dalam taraf ekonomi yang terklasterisasi golongan menengah ke bawah. Pandemi yang tak kunjung usai menjadi sebuah polemik yang sangat serius bagi negeri ini. Pandemi yang terjadi memberikan beberapa dampak yang sangat mengganggu dan menghambat, pandemi merasuki dalam elemen ekonomi sehingga banyak karyawan yang di PHK; pandemi pun merambah ke dunia pendidikan sehingga dengan sangat terpaksa peserta didik dan tenaga pendidik harus mengalokasikan Kegiatan Belajar Mengajar dengan metode Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ, lebih sering disebut daring. Kedatangan pandemi sudah memberikan efek yang sangat signifikan dalam perputaran kehidupan, malah ditambah kedatangan RUU Ciptaker, makin sakit hati ini, slur!.
Kesadaran masyarakat dengan adanya RUU Ciptaker yang membelenggu mereka dalam neraka dunia, akhirnya mereka melakukan gerakan sebagai bentuk menyuarakan rakyat dan sebagai bentuk manifestasi dari bentuk negara yang katanya demokrasi. Para buruh dan segenap elemen yang merasakan terdampak melakukan berbagai macam upaya, terutama unjuk rasa. Hampir di seantero bumi pertiwi melakukan demonstrasi akibat Launching RUU Ciptaker. Aksi yang dilakukan pun kian hari kian meningkat tensi dan massanya. Perjuangan yang tak kenal lelah dalam menyuarakan hak terus berlanjut. Namun demonstrasi yang dilakukan oleh para demonstran mendapatkan sebuah tantangan. Para “pelindung hokage” di parlemen ikut andil dalam rangka menjadi timses launching RUU Ciptaker. Aksi yang dilakukan oleh para demonstran yang tak kunjung mendapatkan respon dari pihak terkait membuat para demonstran merasa geram. Mereka pun memulai untuk menyusun kekuatan yang lebih supaya demonstrasi yang dilakukan dapat memberikan sebuah hasil yang diharapkan. Berbagai macam aliansi pun terbit sebagai bentuk persatuan dengan asas sama rasa, sama nasib.
Selain para buruh, para mahasiswa yang merupakan sebagai genarasi penerus bangsa dan diharapkan sebagai penerus yang membawa kepada perubahan pun ikut andil dalam perjuangan tersebut. Para mahasiswa di seluruh Indonesia pun sadar bahwa sistem pemerintahan ini sudah tak lagi waras dan sehat, akan tetapi mengalami sebuah kebobrokan dan degradasi kemanusiaan. Semua elemen masyarakat hingga mahasiswa secara bersama-sama beraliansi guna bersatu padu rebut demokrasi dengan gegap gempita dalam satu suara demi tugas suci yang mulia, jangan sambil nyanyi, slur hehe.
Gelombang demonstrasi terus berlangsung, baik secara primordial bahkan hingga tingkat nasional. Massa aksi menggelar aksi unjuk rasa di tempat-tempat yang memang sekiranya memiliki poin sentral, seperti gedung pemerintahan setempat. Mereka melakukan unjuk rasa bukan ingin mendapatkan sepeser pun hasil korupsi biar hidup mereka sejahtera sampai perut buncit, tidak sama sekali. Mereka hanya menginginkan “para hokage” berpikir secara sehat dalam membuat sebuah kebijakan, untuk itu mereka sangat berharap suara mereka bisa didengar, jangan cuma pas pemilu doang atuh, cees!. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa unjuk rasa terus mengalami tensi yang kian hari makin meningkat. Titik kulminasi dari aksi tersebut adalah terjadinya peristiwa gontok-gontokan antara “pelindung hokage” dengan para demonstran. Sikap represifitas yang diperlihatkan oleh pihak “pelindung hokage” merupakan sebuah sikap yang tidak senonoh. Mereka yang katanya mengayomi masyarakat akan tetapi mereka justru menghabisi masyarakat. Para demonstran dikoyak-koyak, dicincang pake pentungan, dilempari flashbang, game Point Blank kali ah hehe. Namun pada kenyataannya seperti itu, para demonstran babak belur habis tak berdaya. Dari mereka pun ada yang ditangkap dan diamankan di kandang singa, bagaimana tidak, mereka selepas ditangkap dan diamankan, mereka diintimidasi dan dihabisi. Padahal mereka hanya menyuarakan suara mereka sebagai rakyat, mereka pun tidak menginginkan aksi tersebut berjalan dengan chaos.
Namun dari sebuah penangkapan tersebut terdapat sebuah fenomena aneh, yaitu penyitaan sebuah buku. Sebagaimana yang terlansir di laman suara.com, bahwa diketahui Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Banten menyita buku Tan Malaka berjudul Menuju Merdeka 100 %. Buku tersebut disita dari salah satu mahasiswa berinisial OA passcademonstrasi menolak RUU Ciptaker yang berujung ricuh di depan kampus UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, pada Selasa (6/10/2020). Penyitaan buku Tan Malaka pun terjadi di Tangerang, pada laman m.cnnindonesia.com, Kapolres Metro Tangerang Komisaris Besar Sugeng Hariyanto membenarkan penyitaan buku-buku tersebut.
Melihat fenomena tersebut sungguh sangat miris sekali, Indonesia yang darurat akan literasi justru direduksi bahkan dikebiri kegiatan literasi di kalangan mahasiswa yang notabennya adalah generasi penerus bangsa. Kebebasan yang merupakan nilai dari demokrasi yang dianut oleh bumi pertiwi sudah hilang dikorupsi. Tan Malaka yang merupakan seorang pahlawan nasional, beliau pulalah yang mencanangkan tentang bentuk negara Indonesia sebelum kemerdekaan, hal itu beliau tuangkan dalam bukunya yang berjudul Naar de Republik. Peran beliau dalam kemerdekaan Indonesia pun begitu terasa sekali. Buku Naar de Republik itulah kelak menjadi sebuah dasar pemikiran Dwi Tunggal dalam membuat sebuah prakarsa tentang Indonesia yang berbentuk Republik. Lantas apa yang salah dari buku-buku Tan Malaka? Apa karena isi dari buku-buku Tan Malaka lebih cenderung berisikan tentang hal-hal revolusioner? Kalau memang begitu, mengapa harus ditakutkan? Takut eksistensinya tergantikan sehingga bersifat reaksioner? Takut kedoknya ketahuan ya?. Negeri ini memang lucu, karya-karya pahlawan nasional yang berperan bagi negerinya saja disita demi kepentingan pribadi. Dunia kampus yang mengajarkan mahasiswa untuk terbiasa membaca merupakan sebuah modal untuk memupuk rasa ketertarikan dalam dunia literasi guna menjadi penerus bangsa yang tidak buta akan aksara. Akan tetapi konstruksi yang sudah dibangun di bangku perkuliahan dihentikan oleh mereka yang menyita buku-buku. Sungguh tidak beradab. Mereka senang melihat penerus bangsa buta, tetapi tidak dengan para pahlawan yang telah gugur di medan perang. Mereka ingin penerus bangsa ini bisa membawa sebuah perubahan. Aparat Tega!.
keren...
BalasHapusTerimakasih, ka
Hapus