EDISI SEJARAH : SERANGAN UMUM 1 MARET YOGYAKARTA
EDISI SEJARAH : SERANGAN UMUM 1 MARET YOGYAKARTA
Pasca memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka, Indonesia masih menghadapi ancaman dari Belanda yang ingin berkuasa kembali. Perang kemerdekaan untuk mempertahankan kedaulatan menjadi tidak terelakkan lagi dengan adanya ancaman Belanda yang nyata. Perpidahan ibukota ke Yogyakarta membuat Belanda menjadikan Yogyakarta sebagai sasaran dalam agresi militernya yang ke dua. Pasukan TNI tidak dapat mempertahankan kota Yogyakarta yang mendapat gempuran dari pasukan Belanda. Ketidak berhasilan pasukan TNI dalam mempertahankan Yogyakarta membuat pihak Belanda merasa berhasil menghancurkan RI dan TNI. Keberhasilan Belanda menggempur Yogyakarta dan menawan presiden beserta wakil dan beberapa menterinya dapat diantisipasi dengan pembentukan pemerintahan militer, yang bersama-sama dengan pemerintahan sipil melakukan perjuangan untuk mengusir Belanda.
Strategi gerilya dengan pertahanan rakyat total dipilih karena situasi Yogyakarta sudah terkepung dan persenjataan yang tidak seimbang antara pasukan Indonesia dengan pasukan Belanda. Rakyat memiliki andil yang besar dalam perlawanan terhadap Belanda. seluruh rakyat membantu perjuangan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jika berdasarkan situasi tersebut digunakan strategi linier maka akan sulit untuk mempertahankan wilayah-wilayah yang diserang.
Salah satu permasalahan yang dialami Indonesia dalam Perang Kemerdekaan adalah dalam hal persenjataan yang sangat tidak seimbang antara Indonesia dengan Belanda. Permasalahan ini menyebabkantentara Belanda memandang rendah kekuatan dari pejuang Indonesia. Strategi gerilya terbukti dapat mengalahkan Belanda yang memiliki keunggulan persenjataan. Sikap Belanda yang menganggap remeh kekuatan TNI mulai berubah setelah pasukan TNI yang bergerilya berhasil melakukan serangan gangguan. Strategi gerilya terbukti dapat mengalahkan Belanda yang memiliki keunggulan persenjataan.
Keinginan Belanda untuk berkuasa kembali di Indonesia membuat situasi politik dan keamanan di Indonesia menjadi kacau dan tidak stabil. Pasca agresi militer II yang berhasil menduduki Yogyakarta dan menangkap pimpinan republik, RI segera memberlakukan pemerintahan militer yang sebelumnya sudah dipersiapkan. Pada pelaksanaan tugasnya, pemerintah militer bekerjasama dengan pemerintah sipil. Pemerintahan militer dibentuk agar dapat menjalankan pemerintahan yang tegas sehingga operasi militer dapat dilakukan terhadap Belanda. Pemerintahan militer juga bertujuan agar dapat menggerakkan seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan pertahanan negara. Pada pelaksanaan pemerintahan sipil, lurah memiliki peranan yang penting. Peran lurah diantaranya mengetahui seluk beluk daerah, yang diperlukan untuk melindungi dan menyembunyikan pasukan gerilya. Selain lurah, rakyat juga memiliki peran diantaranya menyediakan akomodasi untuk pasukan gerilya (mengangkut barang, menjadi kurir, memata-matai gerakan pasukan musuh).
Situasi keamanan di Yogyakarta menjadi tidak menentu setelah Indonesia menyatakan menjadi negara yang merdeka. Pertentangan selalu terjadi antara orang Indonesia dengan Belanda, Jepang dan Sekutu. Berbagai kerusuhan timbul pasca proklamasi kemerdekaan, kerusuhan yang terjadi di Yogyakarta diantaranya pertempuran di Kotabaru dan Insiden bendera di gedung negara.
Perpecahan dalam negeri juga timbul akibat, penyelesaian diplomasi yang ditempuh dianggap lebih menguntungkan pihak Belanda. Perdana Menteri Syahrir yang bertugas saat itu menjadi sasaran kemarahan beberapa kelompok. Perpecahan semakin meruncing setelah pada tanggal 27 Juni 1946 terjadi penculikan terhadap Syahrir. Penculikan terhadap Syahrir yang terjadi di Solo dilakukan oleh Mayor A. K. Yusuf dengan mendapat bantuan dari pimpinan tentara Solo. Adanya bantuan dari Pimpinan tentara Solo karena Mayor A.K. Yusuf membawa surat perintah untuk menangkan Syahrir yang ditandatangani oleh Panglima Divisi III Jenderal Sudarsono. Penculikan Syahrir dilakukan oleh tentara dari Yogyakarta dengan bantuan Panglima Divisi Surakarta, dibelakang aksi tersebut ada keterlibatan dari pihak oposisi. Pada tanggal 28 Juni 1946 pemerintah mengumumkan bahwa seluruh Indonesia dalam keadaan darurat, kemudian menyusul pengumuman bahwa Perdana Menteri Syahrir telah diculik, presiden menghimbau agar Syahrir segera dilepaskan. Presiden memutuskan untuk bertindak keras dengan menangkap Jenderal Sudarsono beserta kelompoknya karena tindakan yang dilakukan oleh Jendeal Sudarsono sudah keterlaluan dan mengarah pada ancaman coup d’ etat (menyerobot kekuasaan dengan melakukan penangkapan besar-besaran).
Kekacauan yang berhasil diredam oleh pemerintahan RI dihadapkan lagi dengan adanya agresi militer Belanda yang ke II. Keberhasilan Belanda menyerang ibukota RI pada tanggal 19 Desember 1948 semakin membuat keamanan rakyat Yogyakarta menjadi terancam. Agresi militer Belanda yang dilancarkan di Yogyakata sebelumnya sudah diantisipasi oleh pemerintahan RI dengan mempersiapkan pemerintahan militer dan rencana-rencana untuk mrnghadapi agresi Belanda.
Pasca Yogyakarta berhasil dikuasai oleh Belanda, jam malam mulai diberlakukan di Yogyakarta. Jam malam tersebut berlaku pada pukul 18.00 sampai 06.00. Adanya pendudukan Belanda membuat pasukan TNI harus bergerilya untuk melakukan perlawanan. Gerilya yang dilakukan oleh pasukan TNI mau tidak mau melibatkan penduduk. Setiap kali terjadi serangan dari pasukan gerilya maka Belanda akan melakukan pembersihan dengan menangkap warga yang dicurigai dan membakar rumah penduduk yang dicurigai digunakan sebagai tempat persembunyian pasukan TNI yang bergerilya.
Pada perang kemerdekaan Indonesia, pertahanan yang digunakan adalah pertahanan rakyat semesta atau pertahanan rakyat total. Seluruh masyarakat dari berbagai kalangan ikut berjuang melawan Belanda sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Beberapa laskar ikut terlibat dalam perlawanan pasukan Indonesia terhadap pasukan Belanda. Kelompok yang muncul beragam, mulai dari kelompok pemuda yang bersifat longgar hingga militer, berbagai kelompok dari profesi juga terlibat dari wartawan, PMI, bidang kesenian dan wanita. Ikut sertanya seluruh lapisan masyarakat agar perjuangan mempertahankan kemerdekaan berhasil diraih sehingga kesejahteraan rakyat akan terwujud. Setiap anggota dari pemerintahan militer dari pusat hingga paling terendah memiliki tugas masing-masing untuk memperlancar proses perang gerilya dan memberikan bantuan terhadap pasukan TNI yang bergerilya.
Pada susunan pemerintahan militer disusun beberapa staf, diantaranya staf umum (perhubungan, ketertiban, kehakiman), perekonomian, keamanan, kemasyarakatan dan staf pertahanan (Maklumat No. 2/MBKD). Aksi gerilya yang dilakukan oleh pasukan TNI, memancing terjadinya pembersihan yang dilakukan oleh pihak Belanda. Tindakan pembersihan akan berpengaruh terhadap keselamatan rakyat di wilayah yang terkena pembersihan. Sehingga seluruh penduduk diberikan pemahaman mengenai sikap yang harus mereka ambil saat terjadi pembersihan. Bagaimana cara menyelamatkan diri dan barang berharga (hewan ternak dan padi) saat terjadi pembersihan. Rakyat juga diberi tahu tindakan yang harus dilakukan apabila tertawan oleh pasukan Belanda. Rakyat di tiap desa juga dihimbau untuk memberikan pemberitahuan apabila terjadi bahaya dari musuh dengan cara membunyikan kentongan. Golongan pemuda dihimbau agar tidak ikut bertempur secara langsung namun diarahkan untuk melakukan sabotase listrik dan jalan (membongkar rel kereta) agar dapat memperlambat gerakan musuh. Pasukan Indonesia juga memberi pemahaman pada penduduk bahwa Belanda tidak bisa menduduki desa, Belanda hanya melakukan pembersihan secara sekilas dan tidak akan menduduki desa. Penduduk hanya perlu fokus untuk menyelamatkan diri dengan bersembunyi (Maklumat No. 2/ MBKD).
Strategi yang digunakan dalam melakukan perlawanan dengan Belanda adalah dengan menggunakan strategi gerilya, yang bersifat non kooperasi dan bumi hangus. Strategi gerilya memiliki sifat melemahkan bukan menghancurkan selain itu dalam strategi gerilya diusahakan agar cakupan serangan diperluas. Tujuan memperluas serangan agar lawan dapat menyebar pasukannya juga, sehingga kekuatannya menjadi terpecah dan mudah untuk dilakukan penyerangan. Sifat noon kooperasi dan bumi hangus juga digunakan dalam mengahadapi Belanda. Maksud dari sikap non kooperasi adalah menolak bekerjasama dengan pihak musuh. Peran rakyat sangat besar dalam perang gerilya karena rakyat merupakan sumber logistik dan bantuan bagi pasukan gerilya. Rakyat dan pemerintah DIY diharapkan dapat mendukung perjuangan pasukan gerilya dan menolak melakukan kerjasama dengan Belanda dalam hal apapun. Strategi gerilya yang bersifat bumi hangus adalah dengan menghancurkan objek-objek vital yang dapat dimanfaatkan Belanda. Objek vital yang penting bagi Belanda dapat berupa jalan dan lapangan terbang yang dapat menghubungkan pasukan Belanda yang ada di dalam kota dan di luar kota maupun di luara daerah Yogyakarta serta sumber-sumber lain yang memiliki nilai vital bagi pasukan Belanda.
Referensi :
1. Imran et al. 2011 Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Depdiknas
2. Karsono,dedi. (1999). Kewiraan. Jakarta: Grasindo
3. Soekamto, Eddy. (2009). Yogyakarta Ibukota Perjuangan. Yogyakarta: Narasi
4. Soetanto, H. (2006). Yogyakarta 19 Desember 1948 Jenderal Spoor Operatie Kraai) Versus Jenderal Sudirman (Perintah Siasat No. 1). Yogyakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
5. Markas Besar Komando Jawa Maklumat No. 2/MBKD Sekolah Staf & Komando TNI-AD. (1990). Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta Latar Belakang dan Pengaruhnya: Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada
6. Wilda Muflihah dan Isawati, Jurnal Candi " STRATEGI MILITER DLAM PERANG KEMERDEKAAN DI YOGYAKARTA PADA TAHUN 1945-1949" Vol. 14 No. 2 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar