Islam itu Teroris? Kaga Banget, Ngab!
Islam itu Teroris? Kaga Banget, Ngab!
Merujuk pada judul yang akan dibahas selanjutnya, banyak opini yang dilayangkan dari berbagai macam kalangan perihal Islam, bahkan dari pemeluknya sendiri. Kritik yang terus digencarkan kepada agama Islam membuat jantung merasa disentil. Sakit, bor!. Islam yang terlahir dan diproyeksikan guna menjadi sebuah rahmatan Lil Alamin tetapi justru menjadi sebuah agama yang memiliki momok begitu seram dan menakutkan. Islam itu teroris, begitulah salah satu opini publik. Opini itu tentu sangatlah tidak relevan dengan substansi dari ajaran agama Islam itu sendiri. Namun, stigma negatif itu terbangun sebab terdapat oknum yang menggunakan istilah jihad sebagai bentuk legitimasi lakonnya.
Perlu kita ketahui, bahwa Nabi Muhammad Saw.ketika menerima wahyu dari Allah Swt.melalui perantara malaikat Jibril yang menandakan bahwa diangkatnya Muhammad menjadi Nabi oleh Allah Swt. Kemudian secara kontinyu Allah Swt.menurunkan wahyu demi wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. yang pada hakikatnya mengajak umat manusia untuk mengesakan Allah Swt. Namun hal itu tidaklah mudah bagi beliau, Nabi Muhammad Saw.menuai banyak kecaman bahkan dari paman beliau sendiri. Bukan lagi dicaci maki, akan tetapi hendak dibunuh. Banyak rintangan yang harus dihadapi oleh Nabi Muhammad Saw. dalam menyebarluaskan agama Islam. Sampai pada akhirnya, Allah Swt.memberi wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.agar pergi berperang menghadapi musuh-musuh agama Islam. Mulai sejak itulah jihad dikenal dalam agama Islam.
Pengertian semacam ini menjadi semakin memprihatinkan ketika pada era kontemporer ini beberapa oknum justru sering menjadikan ayat-ayat Al-quran sebagai justifikasi untuk membenarkan aksi teror dengan target warga sipil non muslim yang tak bersalah. Perintah memerangi orang-orang musyrikin direduksi menjadi perintah membunuh non muslim sipil sehingga tidak ada kekafiran di muka bumi. pendapat seperti itu sangat menyimpang dari konteks ayat-ayat jihad yang sejatinya turun merespon kaum musyrikin Mekah yang telah melanggar perjanjian damai dengan kaum muslimin.
Fakta tersebut akan sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan pendapat Ibnu Rusyd. Menurut Ibnu Rusyd, Al-quran mengizinkan perang adalah sebagai perjuangan defensive, yakni perang yang dilakukan semata untuk melindungi jiwa dan harta kaum muslimin dari agresi luar. Bahkan jika dikembangkan lebih lanjut, teori zaman pertengahan tentang jihad sudah tidak lagi relevan. Sebab, pemisah dunia menjadi dar al-Islam dan dar al-harb saat ini tidak lebih dari fiksi belaka. Dunia islam sekarang mengalami disintegrasi ke dalam sejumlah negara yang saling berselisih, bahkan sebagian negara Islam bersekutu dengan negara-negara yang tersindikasi dar al-harb dalam memerangi sesama agama. Lo usik Gue Bantai, begitulah kiranya.
Senada dengan Ibnu Rusyd, Al-Buthi pun mengemukakan hal yang sama bahwa rangkaian perang yang sudah terukir dengan pena itu adalah sebagai bentuk Perang Defensif, bukan Ofensif. Misalnya saja Perang Uhud yang timbul karena rasa dendam pihak Quraisy terhadap kekalahan pada perang Badar; Kemudian Perang Ahzab atau Khandaq yang merupakan akal bulus dari pihak Quraisy untuk menyerang Islam dan Nabi Muhammad Saw. Itu semua dilakukan sebagai bentuk perlindungan bukan sebagai manifestasi hawa nafsu akan kekayaan duniawi.
Kontekstualisasi tentang jihad juga disampaikan al-Maududi. Menurutnya, jihad dalam Islam adalah menggunakan semua potensi dan sarana yang memungkinkan untuk melakukan revolusi ilmiah yang menyeluruh serta mencurahkan segenap tenaga untuk mencapai tujuan yang luhur. Usaha-usaha yang terus-menerus dan penggunaan segenap potensi untuk tujuan yang luhur itulah yang dinamakan dengan jihad. Maka jihad merupaka istilah yang mencakup semua jenis usaha dan pencurahan segenap tenaga. Apabila sudah mengetahui hal itu, maka mengubahlah arah pandangan hidup manusia, mengubah kecenderungan dan keinginan manusia, dan melakukan revolusi pemikiran dengan pena-pena yang tajam itu termasuk jihad, sebagaimana halnya memberantas sistem kehidupan yang zalim dengan ketajaman pedang dan membangun sistem baru berdasarkan sendi-sendi keadilan juga termasuk jenis jihad.
Memahami jihad tidaklah boleh sembarang tafsir, melainkan harus penuh dengan disiplin ilmu yang mapan. Jika kita merujuk pada sejarah, maka jihad itu bukanlah dipergunakan sebagai alat untuk mengintimidasi kelompok lain hanya karena semata-mata kesenangan duniawi atau kebenaran kelompoknya. Berikut penjelasannya berdasarkan Firman Allah SWT.,
1. Q.S. Al-Hajj ayat 39
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصۡرِهِمۡ لَقَدِيرٌ ٣٩
39. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,
A. Tafsir Jalalain
(Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi) yaitu orang-orang mukmin untuk berperang. Ayat ini adalah ayat yang pertama yang diturunkan sehubungan dengan masalah jihad (karena sesungguhnya mereka) telah dianiaya oleh orang-orang kafir. (Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka).
B. Tafsir Departemen Agama
Ayat ini memperbolehkan orang-orang yang beriman memerangi orang-orang kafir, jika mereka telah berbuat aniaya di muka bumi, menganiaya orang beriman dan menentang agama Allah. Sejak Nabi Muhammad saw menyampaikan risalahnya dan melakukan dakwahnya kepada orang-orang Quraisy, maka sejak itu pula sikap orang musyrik Mekah berubah terhadap Nabi dan para sahabat. Semula mereka menganggap Muhammad sebagai orang yang bisa dipercaya, orang yang adil yang dapat menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di antara mereka dengan adil. Tetapi setelah Nabi Muhammad saw menyampaikan risalahnya, mereka lalu mengancam, menyakiti dan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan Nabi saw, para sahabat dan sebagainya. Pernah juga mereka melempari Nabi dengan kotoran binatang dan menganiaya para sahabat, sehingga penderitaan yang dialami Nabi dan para sahabat hampir-hampir tidak tertahankan lagi.
Para sahabat pernah mengadukan hal itu kepada Nabi saw dan memohon kepadanya agar kepada mereka diizinkan untuk membalas tindakan-tindakan orang-orang kafir itu. Rasulullah berusaha menenangkan dan menyabarkan hati para sahabat, karena belum ada perintah dari Allah atau ayat yang diturunkan untuk mengadakan perlawanan dan mempertahankan diri. Semakin hari penderitaan itu dirasakan semakin berat dan untuk menghindarkan diri dari terjadinya bentrokan dengan orang-orang kafir, maka pernah beberapa kali kaum Muslimin melakukan hijrah, seperti hijrah ke Habasyah, ke thaif yang akhirnya Rasulullah dan para sahabat bersama-sama hijrah ke Medinah.
Setelah kaum Muslimin hijrah ke Medinah, barulah turun ayat-ayat yang memerintahkan kaum Muslimin memerangi orang-orang yang berbuat aniaya terhadap orang yang beriman dan berusaha menghancurkan agama Islam. Ayat ini adalah ayat yang pertama kali diturunkan yang berhubungan dengan perintah berperang.
Ad-dahhak berkata, "Para sahabat minta izin kepada Rasulullah saw untuk memerangi orang-orang kafir yang menyakiti mereka di Mekah, maka turunlah ayat 39 Surah ini. Setelah hijrah ke Medinah maka turunlah ayat 39 ini, yang merupakan ayat qital yang pertama kali diturunkan.
Dengan ayat ini kaum Muslimin diizinkan berperang. Ayat ini turun setelah Allah melarang orang-orang beriman berperang dalam waktu yang lama dan setelah Rasulullah berusaha beberapa kali menyabarkan, dan menahan semangat orang-orang beriman menghadapi segala macam tindakan orang-orang kafir yang menyakitkan hati mereka. Karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa izin berperang itu diberikan kepada kaum Muslimin, jika perang itu merupakan satu-satunya jalan keluar bagi kesulitan yang tidak dapat diatasi lagi. Dengan perkataan yang lain: Bahwa peperangan itu dibolehkan untuk mempertahankan diri dan untuk menegakkan dan membela kalimat Allah.
Sebenarnya Allah Mahakuasa membela dan memenangkan orang-orang yang beriman, tanpa melakukan sesuatu peperangan dan tanpa mengalami kesengsaraan dan penderitaan. Akan tetapi Allah hendak menguji hati para hamba-Nya yang mukmin, sampai di mana ketabahan dan kesabaran mereka dalam menghadapi cobaan-cobaan Allah, sampai di mana ketaatan dan kepatuhan mereka dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Betapa banyak orang yang semula dianggap baik imannya, tetapi setelah mengalami sedikit cobaan saja, mereka kembali menjadi kafir. Dengan adanya perintah jihad itu, maka ada kesempatan bagi orang-orang yang beriman untuk memperoleh balasan Allah yang paling besar, yaitu balasan yang disediakan bagi orang-orang yang mati syahid dalam mempertahankan agama Allah.
Berkaca pada penjelasan berdasarkan tafsir dari para ahli, dapat kita tarik kesimpulan bahwa jihad itu tidak hanya berperang. Islam adalah agama yang cinta akan damai. Islam adalah rahmatan Lil Alamin. Peperangan hanya sebagai opsi bagi umat muslim dalam mempertahankan dirinya dari serangan musuh (di luar muslim), itupun opsi yang terakhir. Jika kita sebagai umat muslim dilarang untuk bersujud lagi di hadapan Allah Swt. dengan aman dan tenteram, maka bolehlah umat muslim memberontak sebagai bentuk ketidakadilan dalam beragama.
Pemahaman agama yang bersifat rigiditas dan konservatif merekonstruksi paradigma yang tentu menjadi dogmatis. Bahkan agam sebagai kuda politik, sehingga berimbas kepada sebuah prakarsa perang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bertrand Russell bahwa para pemeluk agama tetapi tidak memahami substansi agama itu sendiri, sehingga agama hanya menjadi alat kemudi untuk mencapai suatu hal di luar ajaran agama. Itulah cerminan Bertuhan Tanpa Agama, tandas Bertrand Russell. Islam bukan agama peperangan, Ngab!. Lu kira emang clash of clans. Islam juga bukan teroris, Ngab!. Kita bukan ciptaan yang diciptakan untuk berperan lakon Pabji & EpEp.
#IslamItuIndah
Referensi :
Russel, Bertrand. Bertuhan Tanpa Agama
Al-Mahalli, Jalaluddin dan As-Suyuti. 2007. Tafsir Jalalain. Terj. Bahrun Abubakar. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Departemen Agama RI. 2002. Al-qur’an dan terjemah. Toha Putra: Semarang
Al-Buthi, Ramadhan. Fiqhus Sirah
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid
Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. Rahiqul Makhtum
Al-Maududi, Abul A'la. Prinsip-prinsip Ajaran Islam.
Komentar
Posting Komentar