KEHIDUPAN PERSIA DALAM BUNGKUS NANO-NANO

 LABIRIN PANJANG DALAM KEHIDUPAN MANUSIA: KEHIDUPAN DI PERSIA


    Hingga abad ke-7 S.M. dalam kehidupan kegamaan di Persia menganut pemikiran Naturalisme. Maksud dari Naturalisme itu adalah bahwa masyarakat Persia menyembah segala hal yang bersifat alam, seperti halnya matahari, sungai, pepohonan dan juga manusia. Kemudian, datanglah Zarathustra atau Zoroaster (660-583 S.M.) sebagai orang yang hendak memperbaiki tatanan kehidupan masyarakat Persia. Pemikirannya banyak ditujukan pada aspek perbaikan. Zarathustra memasukkan ke dalam agamanya dengan sesembahan Persia Lama setelah melalui penyaringan. Akhirnya pemikiran keagamaannya sampai pada ajaran: Dua Tuhan atau dua kelompok dari beberapa Tuhan. Kelompok pertama terdiri dari tuhan-tuhan yang baik dan dikepalai oleh Tuhan Ahura Mazda. Kelompok kedua terdiri dari tuhan-tuhan yang jahat di bawah pimpinan Tuhan Ahriman. Pertentangan antara kedua kelompok tuhan itu mencerminkan pertentangan antara kebajikan dan kejahatan di dalam kehidupan, dan pertentangan itu tidak akan selesai sebelum masa melampaui masa ribuan tahun yang akan datang, yaitu  kebajikan akan menang dan Tuhan Mazda mengalahkan Tuhan Ahriman.

    Jadi, pada pandangan keagamaan Zoroaster terkandung faham Politeisme. Banyak para peneliti sejarah juga yang mengatakan agama Zoroaster sebagai agama yang Monoteisme, sebab Tuhan Mazda sendirilah yang akhirnya akan mengalahkan tuhan-tuhan lainnya yang jahat. Bagi Tuhan Mazda, Zoroaster menetapkan beberapa sumber alam yang jernih dan terang untuk dijadikan sebagai lambang, seperti api misalnya. Ia mengajarkan kepercayaan kebangkitan kembali setelah mati, adanya kehidupan lain di hari kemudian, akan adanya perhitungan mengenai amal kebajikan dan kejahatan, dan pada akhirnya akan menikmati kebahagiaan abadi atau siksa yang kekal.

    Itulah garis-garis besar ajaran agama Zoroaster. Tetapi ajaran-ajaran Zoroaster itu menjadi berantakan setelah ia meninggal dunia. Kepercayaan adanya “dua tuhan” menjadi lebih tampak dalam eksistensinya, sebagaimana juga kemudian orang-orang Persia memandang dan memperlakukan api sebagai tuhan, bukanlagi sebagai simbol atau lambang. Mereka menyembah api dan memujanya sebagai sesembahan dalam upacara-upacara keagamaan. Mereka lupa bahwa pada mulanya api dimaksudkan tidak lebih dari sekadar lambang kejernihan. Demikianlah sehingga mereka dikenal sebagai kaum penyembah api. Hal itu memberikan ruang kesempatan bagi para resi Majusi (Persia Lama) untuk mengambil kembali pengaruh kekuasaan agama di Persia.

    Pada akhir abad ke-4 S.M., yaitu ketika Alexander Macedonia melancarkan serbuan ke Persia, agama Zoroaster menghilang dan tetap dalam keadaan seperti itu selama kurang lebih lima abad. Kemudian setelah berdirinya kerajaan Sassanid, mereka berusaha kembali kepada agama Zarathustra yang dipandang sebagai bagian dari pusaka warisan. Tetapi Zoroasternya kaum Sassanid jauh dari kemurnian ajaran Zarathustra. Kaum Sassanid menggunakan ajaran Zoroaster sebagai alat untuk mewujudkan hawa nafsu bendawi.

    Pada akhir abad ke-3 Masehi, muncullah Mani di Persia. Ia muncul pada saat orang-orang Persia sedang diselimuti oleh nafsu syahwat yang berlebihan. Mani merencanakan suatu cara untuk memerangi penyakit hawa nafsu syahwat yang sedang merajalela. Ia berseru supaya manusia hidup membujang, tidak perlu beristri, guna menidadakan sebab-sebab kerusakan dan kejahatan dari kehidupan duniawi, yaitu dengan jalan memutuskan keturunan dan mempercepat lenyapnya manusia dari muka bumi. Raja Bahram, yang membunuh Mani pada tahun 276 Masehi, mengatakan: “Dia (Mani) muncul untuk merusak dunia. Oleh karena itu ia harus mulai dengan merusak dirinya sendiri”. Mani mati, tetapi ajaran-ajarannya masih tetap hidup sampai saat masuknya Islam ke Persia.

    Kemudian muncul pula ajaran Mazdak pada tahun 487 Masehi. Ia mengajarkan bahwa manusia dilahirkan sama tiada perbedaan antara mereka, dan seharsunya manusia hidup sama rata. Harta kekayaan dan perempuan adalah sebab utama yang menciptakan disparitas sosial dan stratifikasi sosial. Berdasarkan pokok pikiran itu, Mazdak mengeluarkan ajaran yang sepenuhnya sama dengan Komunisme. Syahrustaniy mengatakan dalam bukunya Al-Milal Wan Nihal jilid I halaman 87: “Mazdak menghalalkan perempuan dan harta kekayaan dapat dimiliki secara kolektif oleh semua orang. Seperti halnya air, api dan padang penggembalaan. Seruan tersebut disambut baik oleh kaum muda, kaum foya-foya dan kaum durhaka, bahkan mendapat dukungan dari pihak istana kerajaan.”

    At-Thabari dalam bukunya Tarikh Al-Umam Wal-Muluk Jilid II halaman 88, mengatakan: “lapisan bawah menyambut baik seruan Mazdak dan mengikuti ajarannya. Banyak sekali orang yang mendapat gangguan mereka setelah mereka itu menjadi kuat. Sehingga jika mereka masuk ke rumah seseorang dan menyainginya atas haknya terhadap perempuan, harta dan rumahnya maka ia tidak dapat menolak mereka. Mereka berhasil pula memaksa Raja Kubaz untuk mengafirmasi dan melegalisasi tindakan mereka itu, dan mengancamnya jika tidak satu arahan. Akhirnya banyak anak yang terlahir tanpa tahu siapa ayahnya.

    Para Raja Persia meyakini bahwa di dalam dirinya mengalir darah suci ketuhanan. Masyarakat Persia pun meyakini hal itu dengan memberikan kurban-kurban kepada raja mereka. Di luar kaum bangsawan, terdapat masyarakat Iran dengan berbagai macam kasta yang membuat disparitas sosial yang cukup lebar. Di luar kaum bangsawan, seseorang tidak bisa melampaui kamar kastanya ke kasta yang lain, walaupun mereka memiliki kelebihan dalam bentuk apapun.

REFERENSI:

Ahmad Syalaby, Islam Dalam Timbangan 

- Syahrustaniy, Al-Milal Wan Nihal

At-Thabari, Tarikh Al-Umam Wal-Muluk

Muhammad Zazuli, Sejarah Agama Manusia 

- Karen Armstrong, Sejarah Tuhan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOCOR ALUS RAMADAN (BAR): HUKUM SUNTIK DAN INFUS BAGI YANG PUASA, BATALKAH?

EDISI SEJARAH : SERANGAN UMUM 1 MARET YOGYAKARTA

Refleksi Kehidupan : Menjadi Petualang di Tanah Rabbul Izzati (Perspektif Teori Konstruktivisme, Model Inkuiri)