BOCOR ALUS RAMADAN (BAR): ZAKAT FITRAH TIDAK SAH DENGAN UANG?
ZAKAT FITRAH: TIDAK SAH DENGAN UANG?
Dalam menetapkan suatu hukum, seorang mujtahid haruslah merujuk kepada Alquran dan al-Hadits. Namun apabila di dalam kedua rujukan tersebut tidak ditemukan barulah seorang mujtahid itu beralih kepada ijma’ dan qiyas. Dalam hukum Islam para fuqaha’ berbeda pendapat tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah dengan uang. Pada umumnya perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ tersebut dikarenakan oleh perbedaan pola pemikiran dan metode yang digunakan dalam menetapkan suatu hukum.
1. Pendapat Mazhab Hanafiah
Dasar hukum yang digunakan oleh ulama Hanafiah atas diperbolehkan zakat fitrah dengan mengunakan harganya yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi:
“Telah menceritakan kepada kami Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Muqri’, telah bercerita kepada kami Hasan bin Muhammad bin Ishaq, telah menyampaikan Yusuf bin Yakub al-Qadhi, telah menyampaikan Abu al-Radhi’, telah menyampaikan Abu Mu’syir, diceritakan dari Nafi’, diceritakan dari Ibnu’Ummar dia berkata: bahwa Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kita untuk mengeluarkan zakat fitrah dari setiap anak kecil, orang tua, orang yang merdeka, dan budak sebanyak satu sha’ dari kurma atau gandum . dia berkata: dan kita berikan kepada mereka berupa anggur kering dan keju kemudian mereka menerimanya, dan kita diperintahkan untuk mengeluarkan zakat tersebut sebelum keluar dari shalat ‘id. kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Cukupkanlah mereka (orang-orang miskin) dan meminta-minta pada hari ini (yakni hari raya)”. (HR. Al-Baihaqi).
Menurut mazhab Abu Hanifah, seseorang itu boleh memberikan zakat fitrah tersebut dengan harganya, dirham, dinar, uang, barang atau apa saja yang dia kehendaki. Karena, hakikatnya yang wajib adalah mencukupkan orang fakir miskin dari meminta-minta. Di dalam hadits di atas menjelaskan bahwa mencukupkan fakir miskin dari meminta minta dapat tercapai dengan memberinya harga. Bahkan, itu lebih sempurna dan mudah karena labih dekat untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa teks hadits mempunyai ’illat (sebab) yaitu alighna’ (mencukupkan).
2. Pendapat Mazhab Syafi'iyah
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa zakat fitrah diambil dari mayoritas makanan pokok suatu negeri atau tempat. Karena, hal itu berbeda sesuai perbedaan tempat. Yang dianggap sebagai mayoritas makanan pokok adalah mayoritas makanan makanan pokok dalam setahun. Kualitas makanan pokok yang terbaik boleh digunakan untuk menggantikan kualitas makanan pokok terjelek dalam berzakat, tidak sebaliknya. Menurut pendapat yang paling benar, hal itu diukur dengan bertambahnya makanan tersebut dikonsumsi, bukan karena harganya.
Menurut pendapat mazhab Syafi’i, zakat fitrah dengan uang tidak diperbolehkan, dan harus membayar zakat fitrah dengan makanan sebagaimana dalam kitabnya ”Al-Umm”:
”Dan tidak boleh mengeluarkan zakat kecuali berupa biji-bijian, tidak berupa tepung kasar dan halus juga tidak boleh mengeluarkan berupa harganya."
Imam Syafi’i berkata:
”Seseorang boleh mengeluarkan zakat fitrah dari makanan yang biasa dimakan sehari-hari, yaitu berupa hinthah (biji gandum), jagung, alas, (biji gandum yang berisi dua biji dan merupakan makanan penduduk yaman), sya’ir (tepung gandum), tamar, korma dan zalib (anggur kering)”.
Dasar hukum Imam Syafi’i tidak diperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang yaitu:
“Pada masa Rasulullah SAW kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa Kurma, gandum, anggur, dan keju.” (HR. Muslim)
Alasan mazhab Syafi’i yang tidak membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang, karena yang diwajibkan menurut hadits adalah bahan makanan yang mengenyangkan yaitu makanan pokok. Al-Imam al-Mawardi juga berpendapat bahwa sama dengan Imam Syafi’I beliau mengatakan:
“Telah kami jelaskan bahwa tidak boleh menolak harganya di dalam berzakat, dan tidak boleh mengeluarkan kadar/harga di dalam zakat fitrah, apabila seseorang telah mengeluarkan kadar/harga satu sha’ dengan beberapa dirham atau beberapa dinar maka tidak sah”
Referensi :
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuh
Komentar
Posting Komentar