EDISI SEJARAH: ASAL MULA HADIRNYA RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA
ASAL MULA HADIRNYA RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA
Tidak banyak yang mengetahui bahwa organisasi RT/RW yang kita kenal saat ini telah mengalami sejarah cukup panjang yang lebih tua dari usia negara kesatuan Republik Indonesia sekalipun. Tidak banyak pula yang menyadari bahwa RT/RW pada awalnya berasal dari organisasi yang didirikan oleh pemerintahan pendudukan Jepang yang bernama Tonarigumi (Rukun Tetangga) dan Azazyookai (Rukun Kampung), sebagai sebuah organisasi yang dimaksudkan untuk memobilisasi dana dan daya penduduk untuk kepentingan dan memenuhi kebutuhan untuk memenangkan perang asia pasifik. Tonarigumi sendiri diadopsi dari organisasi serupa di Jepang yang pada awalnya dirancang untuk kota-kota besar di negeri matahari terbit pada tahun 1938 dan dua tahun kemudian (11 September 1940) diberlakukan secara nasional sebagai neighborhood group.
Aktivitas Rukun Tetangga pada saat itu menurut Niessen didasarkan pada semangat gotong royong (solidarity) sebagai dasar dari kegiatan RT dalam membangun solidaritas komunitas, seperti kerja bakti membersihkan lingkungan, menjaga keamanan warga, mengurus kematian atau resepsi warga dan sebagainya. Secara eksplisit Niessen juga menyatakan bahwa Rukun Tetangga terdiri dari 10 hingga 20 unit rumah tangga adalah unit terendah dalam sistem pemerintahan pendudukan Jepang.
Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Geerzt yang menemukan hal serupa di daerah yang disebut Geerzt sebagai Mojokuto pada masa pendudukan Jepang, meskipun dilaporkan dalam jumlah unit rumah tangga yang berbeda. Geerzt lebih melihat organisasi (yang tidak disebut secara eksplisit namanya) tersebut sebagai sebuah organisasi politik, sebuah organisasi yang mirip dengan yang terdapat di negeri Jepang, yang terdiri dari 20-30 rumah tangga dengan ketua yang dipilih oleh mereka sendiri. Satuan-satuan ini dikelompokkan lagi dalam sejumlah kelompok yang lebih besar.
Meski secara formal pemerintah pendudukan Jepang telah menjadikan Tonarigumi dan Azazyookai sebagai embrio dari RT/RW, P.J. Suwarno dalam penelitiannya di Yogyakarta meyakini bahwa jauh sebelum Jepang hadir di Indonesia dan melahirkan Tonarigumi dan Azazyookai pada tahun 1943, telah terdapat perkumpulan atau paguyuban sosial seperti sinoman, pralenan dan sebagainya. Kemiripan latar belakang sosial budaya dan politik Tonarigumi dan Azazyookai di Jepang dengan latar belakang sosial budaya dan politik di Yogyakarta seperti kerukunan, kesetiaan kepada atasan/raja serta sifat kegotongroyongan menjadikan organisasi tersebut mudah diterima masyarakat sebagai sebagai sebuah institusi sosial.
Setelah Indonesia merdeka, Tonarigumi dan Azazyookai tidak begitu saja dihilangkan, tetapi diadaptasi menjadi bentuk Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Kampung (RK) dengan fungsi yang berubah. Jika pada masa pemerintahan pendudukan militer Jepang memfungsikan Tonarigumi dan Azazyookai sebagai mobilisator untuk mengerahkan romusha, memaksa rakyat menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, menggerakkan rakyat untuk menyerahkan kebutuhan sehari-hari kepada Jepang secara gratis, pasca kemerdekaan atau masa revolusi kemerdekaan, RT/RK merupakan pelayan masyarakat yang menyediakan bahan makanan bagi masyarakat yang membutuhkan, mengusahakan perlindungan bagi gerilyawan, mengamankan barang-barang yang ditinggalkan pemiliknya dan lain sebagainya. Dapat dikatakan pada masa revolusi fisik tersebut, RK/RT dapat berperan sebagai dinamisator, karena pemerintah belum dapat berjalan dengan efekif dan kuat, maka rakyat menggunakan RK/RT untuk mengurus kepentingannya sendiri.
Suwarno mencatat bahwa dalam periode 1945-1960, ketika pemerintahan berjalan dengan demokratis, lembaga RT/RK tumbuh secara demokratis pula. Sedangkan pada tahun 1960 hingga tahun 1989 ketika demokrasi terpimpin dan orde baru berkuasa dengan paham sentralismenya, RT/RK semakin terikat pada birokrasi pemerintahan. Puncaknya terjadi ketika Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1983 menetapkan Rukun Tetangga/Rukun Warga sebagai kepanjangan tangan birokrasi pemerintahan tanpa mengubah statusnya sebagai lembaga sosial. Suatu kondisi yang disinyalir oleh Niessen, lebih atau kurang sebagai pengapdosian penguasa Orde Baru dari usaha pemerintah Jepang yang berusaha menjadikan Tonarigumi dan Azazyookai sebagai instrumen kontrol, indoktrinasi dan mobilisasi warga.
Bukan rahasia lagi, jika dimasa Orde Baru RT/RW sangat lekat (embedded) dengan organisasi birokrasi dan menjadi kepanjangan tangan birokrasi dalam upaya stabilisasi politik versi pemerintah pada saat itu dengan menjadi elemen tambahan untuk memenangkan Golongan Karya. Untuk itu kepemimpinan organisasi RT/RW di masa lalu secara sistematis dapat dipastikan berada ditangan orang-orang yang secara ideologis dan politis searah dengan pemerintah yang berkuasa.
Reformasi tahun 1998 menjadi jalan bagi perubahan struktur kemasyarakatan Indonesia. Sejalan dengan perkembangan reformasi dan luruhnya asas sentralisme dalam pemerintahan negara dan tumbuhnya paradigma otonomi masyarakat, pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri mulai mengganti dan merevisi peraturan-peraturan hukum yang tidak selaras dengan semangat perubahan dan paradigma otonomi daerah yang di awali dengan Permendagri Nomor 4 Tahun 1999, termasuk didalamnya mencabut Permendagri Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pembentukan RT/RW. Namun demikian, setiap daerah (pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota) diberikan kebebasan untuk tetap mempertahankan, merubah, atau memodifikasi sesuai kebutuhan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden nomor 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau sebutan lain.
REFERENSI :
- Kodansha Encyclopedia of Japan, 1983: Keywords Tonarigumi, Local Autonomy, Local Government, Guningumi.
- Niessen, Nicole. 1995. Indonesian Municipalities Under Japanese Rules dalam Issues in Urban Development-Case Studies from Indonesia, Peter JM. Nas (eds)
- Geerzt, 1986. Mojokuto-Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa.
- Suwarno. PJ. 1995. Dari Azazyookai dan Tonarigumi ke Rukun Kampung dan Rukun Tetangga di Yogyakarta (1942-1989). Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar