Tendensi Kapitalisme yang Mengakar Kuat di Tubuh Pemerintahan Indonesia

 Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, salam sejahtera, Namo Budhaya, Om Swastiastu. Bagaimana kabar kawan-kawan? Semoga dalam keadaan sehat selalu. Kembali lagi di blog ini, pada kesempatan kali ini saya ingin memberikan sebuah refleksi terkait sistem pemerintahan di Republik Indonesia yang semakin hari semakin memburuk. Untuk itu, saya sebagai rakyat memberikan sebuah pandangan terhadap para volksraad negeri ini.



Tendensi Kapitalisme yang Mengakar Kuat di Tubuh Pemerintahan Indonesia




Berbicara tentang kapitalisme atau  bisa disebut juga sebagai sayap kanan sudah marak diperbincangkan di berbagai kalangan terlebih dalam kalangan intelektual, seperti civitas akademika, politikus, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari segi pengertian, kapitalisme adalah suatu paham ketatanegaraan atau ekonomi yang memberikan reprositas kepada kalangan ningrat. Kapitalisme ini identik dengan Negeri Paman Sam¹. Aliran ini terus menjalar ke seantero dunia hingga sampai menginjakkan kaki di bumi pertiwi. Kapitalisme ini sudah menjalar sejak zaman kolonialisme berada di tanah air Indonesia. Para imperalis yang datang ke Indonesia, baik secara eksplisit atau implisit menerapkan sistem kapitalisnya di Indonesia. Sebagai contoh saja terkait fenomena tanam paksa, kerja rodi, romusha, dan lain sebagainya, di mana rakyat tidak merasakan kesejahteraan melainkan kesengsaraaan,  hal itu memberikan gambaran bahwa kapitalisme di Indonesia itu sudah sejak negeri ini belum merdeka. Mereka secara tak langsung memberikan sebuah wiyata kepada penduduk pribumi dalam menerapkan sistem kapitalisme itu sendiri.

 

Hal itu menandakan bahwa kapitalisme sudah menjalar di Indonesia sejak dahulu kala dan menjadi sebuah keniscayaan di hari kelak. Indonesia yang terkenal dengan sistem demokrasi nya yang jika dilihat dari segi arti sederhana, yaitu dari rakyat dan untuk rakyat. Namun pada realitanya tidaklah sesuai dari arti demokrasi itu sendiri. Demokrasi hanya dijadikan sebagai seni rupa murni bukan menjadi seni rupa terapan. Demokrasi dijadikan sebagai tameng bagi mereka supaya dapat menerapkan kapitalisnya dalam tubuh pemerintahan. 


Sebagaimana yang sudah dijelaskan di muka, bahwa kapitalisme itu sudah dicontohkan sejak era kolonialisme berkembang di Indonesia. Hal itu secara implisit memberikan sebuah paradigma bagi para birokrat pemerintahan dalam menjalankan sistemnya. 


Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya harus bersusah payah dalam memerangi sistem kapitalisme yang diterapkan oleh para imperialis, baik Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Kaum pribumi terus membuat prakarsa supaya Indonesia ini bisa damai, aman, dan sejahtera. Berbagai prakarsa terus dicuatkan ke permukaan seperti halnya pembentukan organisasi politik, seperti insulinde², Sarekat Priyayi, Central Sarekat Islam, Jam’iyyattul Khairiyyat, Boedi Oetomo³, dan lain sebagainya. Semua rakyat pada saat itu berpikir bagaimana Indonesia ini bisa merdeka. Semua hal sudah dilakukan sampai pada titik kulminasinya, yaitu pada saat pembacaan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Sang Putera Fajar⁴.



 Mulai saat itu lah Indonesia membentuk sistem ketatanegaraan nya mulai dari nol, mulai dari penunjukkan presiden dan wakil presiden, pembentukan Komite Nasional, dan pengesahan dasar negara Indonesia. Semua dipersiapkan sedemikian masif nya. Namun, walaupun Indonesia sudah merdeka, Belanda masih terus gigih untuk menjajah Indonesia. Hal itu dibuktikkan dengan adanya Agresi Militer Belanda I dan II, Perjanjian Renville, hingga kulminasi nya pada saat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Dengan adanya gangguan tersebut, hal itu menyebabkan Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat di bawah naungan Ratu Belanda. Sistem pemerintahan pun berubah menjadi sistem parlementer. Namun hal itu tak berlangsung lama, hal itu berakhir ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto dan de jure. Haluan Indonesia pun kembali kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945⁵.


Ketika Indonesia kembali ke pangkuan Bung Karno, beliau yang terkenal sangat menentang kapitalisme mengeluarkan sebuah prakarsa, yaitu Berdikari⁶. Poin-poin Berdikari tersebut adalah berdaulat dalam hal politik; mandiri dalam hal ekonomi; dan berkpribadian yang berkebudayaan. Menarik kita bahas di sini perihal poin politik dan ekonomi. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Bung Karno adalah sosok nasionalis yang sangat menentang kapitalisme. Pemikiran beliau pun cenderung ke sayap kiri, di prinsip sayap kiri berseberangan dengan prinsip sayap kanan. Keberpihakan beliau terhadap prinsip sayap kiri⁷ dibuktikkan dengan terobosan Nasakom⁸ yang menuai kritikan dari para kalangan. Adapun bukti lainnya yaitu ketika Bung Karno menciptakan sebuah ideologi Marhaenisme yang dijadikan sebagai acuan beliau dalam menjalankan roda pemerintahannya. Ideologi tersebut termotivasi dari seorang petani yang bernama Pak Marhaen pada saat beliau sedang berkunjung ke kota Bandung. 


Sosok beliau yang menentang keras kapitalisme bukan tanpa tujuan, hal itu karena beliau sendiri ingin memakmurkan rakyat Indonesia dengan tidak hanya memperhatikan kaum priyayi saja, melainkan menjalar ke seluruh lapisan masyarakat seperti buruh, tani dan lain sebagainya. Namun citra tersebut hilang akibat lengsernya Bung Karno dari tampuk kekuasaan. Selanjutnya, Indonesia ditunggangi oleh Sang Jenderal 32 Tahun⁹. Dengan beralihnya kepemimpinan Bung Karno ke tangan Soeharto, berarti merubah tatanan kenegaraan Indonesia pula. Sebab jika kita telisik, bahwa Bung Karno dan Soeharto berseberangan dikarenankan Bung Karno yang pro sayap kiri namun Soeharto yang sangat pro sayap kanan. Hal itu dibuktikkan ketika pendongkelan kepemimpinan Bung Karno ternyata Soeharto berkooperatif dengan CIA dan memperoleh bantuan dana dalam membangun rezim Orde Baru. Hal itu pun didanai oleh mereka dalam pembangunan rezim Orde Baru, yaitu tepatnya pada saat delegasi Indonesia menghadiri sebuah perkumpulan di Zurich, Swiss¹⁰.


Sejak saat itulah Indonesia bersifat kooperatif kepada sayap kanan. Hal itu dibuktikkan dengan pembukaan PT. Freeport yang dikuasai oleh AS. Begitu pun dalam menjalankan roda pemerintahan selama 32 tahun, Soeharto cenderung otoriter bahkan bisa dikatakan diktator. Sebab jika ada sebuah kritikan yang dilontarkan kepada pemerintah, maka nasib seseorang tersebut bisa terancam. Bisa saja hilang atau tewas oleh Petrus¹¹. Begitu juga Seoharto banyak melakukan Nepotisme pada saat menjalankan pemerintahannya. Rakyat cenderung disusahkan daripada disejahterakan. 


Kisah terjeburnya Indonesia kepada pihak kapitalisme terus berlanjut hingga pada saat membangun Indonesia dengan reformasi yang bertujuan menerapkan demokrasi sebenar-benarnya, bahwa dalam pembangunan reformasi tersebut Indonesia harus mengurus permasalahan krisis moneter pada tahun 1998, era Soeharto. Krisis ekonomi pada tahun 1998 semakin membuat Indonesia terintegrasi ke dalam kapitalisme. IMF memaksakan paket reformasi ala Neolib sebagai syarat pengucuran dana sebesar US$ 43 Miliar untuk menanggulangi krisis. Hal itu menjadikan Indonesia sudah terjun semakin dalam ke dalam dunia kapitalisme. Salah satu tokoh yang diduga sebagai orang yang ada di balik proses makin tercengkeramnya Indonesia di tangan IMF dan kaum kapitalis global adalah Boediono. 


Reformasi yang digadang-gadang akan memberikan sebuah efek yang sangat berarti bagi perkembangan rakyat dan sistem pemerintahan di Indonesia hanyalah sebuah hal yang utopis. Hal itu terbukti dibuktikkan dengan contoh kecilnya seperti kasus seorang aktivis bernama Munir Said Thalib¹². Munir menyuarakan Hak Asasi Manusia yang dirasa hilang ditelan bumi, namun justru dia lah yang dihilangkan oleh negara, Kasus pembunuhan Salim Kancil pada tahun 2015 akibat menyuarakan keadilan, dan masih banyak kasus lainnya. 


Semakin bertambahnya angka umur Indoenesia bukan membentuk Indonesia semakin bersikap dewasa, melainkan kekanak-kanakan. Sistem pemerintahan semakin hari semakin tersindikasi bahwa pemerintahan berpihak kepada mereka yang mempunyai harta. Banyak contoh kasusnya, seperti para koruptor yang dibiarkan lalu-lalang oleh pejabat pemerintah seakan-akan tidak ada problematika. Namun, kasus maling sendal menimbulkan permasalahan yang luar biasa dengan hukuman yang tidak biasa. Sistem pemerintahan yang oligarki membuat sistem pemerintahan Indonesia buta-sebutanya. Mengapa? Karena mereka para pejabat yang terpilih bukan karena kapabilitas mereka yang hebat melainkan karena atas rasa kekeluargaan dan “balas budi”.  Dapat kita saksikan bahwa kaum kapitalis tidak memperdulikan hak-hak rakyat kelas teri. Mereka hanya memikirkan perut mereka sendiri. Banyak didirikan cerobong-cerobong asap di atas sawah, gedung-gedung pencakar langit yang didirikan di atas hutan yang seharusnya berfungsi memberikan sebuah udara segar bagi keberlangsungan hidup dibabat habis. Sistem pemerintahan yang semakin kacau membuat kaum papa semakin sengsara karena tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak memiliki segenap harta untuk memangkas hukuman bahkan menghilangkan pidana di hadapan jaksa. 


Imbas dari itu semua yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh seniman Indonesia, yaitu Virgiawan Listanto¹³. Ia mengatakan di dalam lirik lagunya, 

“Tanah kering kerontang banjir datang itu pasti. Hutan rimba tak ada tempat berpijak lagi musnah dengan sendirinya akibat rakus manusia”


Hal itulah adalah sebuah realita yang ada di negeri ini. Sistem yang menganut kapitalisme¹³ membuat rakyat papa semakin sengsara dan kaum borjuis semakin hype abis¹⁴. Bagaimana tidak, sering kita saksikan rumah-rumah pejabat yang begitu mewah, pernak-pernik kehidupan yang di atas rata-rata. Berbeda dengan rakyat kelas teri yang hanya bisa melamun dan menggelengkan kepala melihat itu semua. Kalau bukan dari uang rakyat mana bisa mereka bergaya hidup seperti itu? Itulah kapitalisme. 


Berbeda dengan para pejabat dahulu, contoh saja K.H. Agus Salim, beliau dalam memenuhi kebutuhan kesehariannya yaitu dengan berjualan minyak tanah eceran; Mohammad Natsir¹⁵ yang menggunanakan jas tambal dan mengayuh sepeda ontel menuju rumah kontrakannya; Jenderal Hoegeng, beliau tidak menempati rumah dinasnya di Jalan Pattimura Jakarta Selatan dan lebih memilih tinggal di rumah sederhananya di Jalan Madura Jakarta Pusat, dan masih banyak yang lainnya. mereka menyontohkan kepada bangsa ini bahwa pejabat itu sengsara bukan hura-hura. Karena menjadi pejabat adalah Tupoksi nya itu memakmurkan rakyat bukan menindas rakyat. Perjuangan letih para pahlawan dikhianati oleh para pejabat yang mempermainkan sistem pemerintahan menjadi liar tak terkendali. Reformasi ini dirasa dikebiri dan disunat oleh para korporat bangsa tak bertanggung jawab.

Footnote :

1. Predikat Amerika Serikat

2. Nama lain Indische Partij

3. Walaupun esensinya Boedi Oetomo bergerak dalam bidang organisasi sosial

4. Predikat Bung Karno

5. Pada saat Republik Indonesia Serikat, haluan negara diubah menjadi UUDS 1950

6. Berdiri Di Atas Kaki Sendiri

7. Basis pemikiran Karl Marx, Marxisme

8. Nasionalis, Agamis, Komunis

9. Predikat Soeharto

10. Pernyataan Mohammad Achadi selaku mantan menteri Transkop era Kabinet Dwikora yang disempurnakan.

11. Penembakan Misterius

12. Aktivis HAM yang diduga diracun di udara ketika hendak terbang menuju Den Haag, Belanda pada tahun 2004

13. Nama asli Bung Iwan Fals

14. Atas nama akumulasi hukum kapitalis

15. Perdana Menteri kelima


Oke kawan-kawan mungkin itu saja. Hal itu diungkapkan sebagai bentuk refleksi agar lebih berpikir terbuka dan saya mohon maaf atas segala kesalahannya karena hal itu merupakan kebodohan saya sebagai manusia yg penuh dosa. 


Sekian, sampai jumpa di tulisan selanjutnya. Silakan yang ingin memberi komentar, kritik dan saran.


Panjang Umur Perjuangan!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOCOR ALUS RAMADAN (BAR): HUKUM SUNTIK DAN INFUS BAGI YANG PUASA, BATALKAH?

EDISI SEJARAH : SERANGAN UMUM 1 MARET YOGYAKARTA

Refleksi Kehidupan : Menjadi Petualang di Tanah Rabbul Izzati (Perspektif Teori Konstruktivisme, Model Inkuiri)