PANCASILA: STAAT FUNDAMENTAL NORM BANGSA INDONESIA
PANCASILA: STAAT FUNDAMENTAL NORM BANGSA INDONESIA
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beraneka ragam suku, bahasa dan aturan yang mengatur tatanan kehidupan manusia yang hidup untuk berkembang sesuai dengan cita, rasa dan karsa masing-masing. Keanekaragaman tersebut dirangkum oleh Ir. Soekarno kedalam istilah Pancasila. Gagasan Pancasila tersebut disampaikan pada Sidang Pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) 1 Juni 1945. Namun, Ir. Soekarno tidak pernah menyatakan diri sebagai penemu Pancasila akan tetapi hanya sebagai penggali Pancasila. Hal tersebut menjadi wajar jika Pancasila memang dilahirkan dari nilai-nilai yang mengatur tata kehidupan masyarakat Indonesia dan Ir. Soekarno yang menjadi penggali nilai-nilai tersebut dan mengungkapkannya dengan istilah Pancasila.
Pancasila dewasa ini merupakan dasar negara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Disamping itu, pancasila juga merupakan sumber segala hukum negara. Pancasila sebagai cita NKRI (rechtsside) atau dasar atau ideologi atau staatsfundamentalnorm telah mengalami perjalanan yang cukup panjang sebelum dikenal sebagai 5 (lima) sila, yaitu:
a. Ketuhanan yang Maha Esa;
b. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
c. Persatuan Indonesia;
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan/Perwakilan;
e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pancasila staatsfundamentalnorm harus mampu sebagai bahan yang membentuk aturan yang berkaitan dengan hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), perkembangan internasional, keadaan geografis. Hal tersebut menjadi sangat logis karena memang Pancasila sendiri lahir karena keberadaan bangsa Indonesia dari sejak dahulu kala atau sejak mendiami kepulauan-kepulauan Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan Pancasila merupakan salah satu bagian sejarah awal hukum di Indonesia dan sumber hukum di Indonesia.
Sejarah bangsa Indonesia juga mencatat bahwa rumusan Pancasila yang disahkan PPKI ternyata berbeda dengan rumusan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Hal ini terjadi karena adanya tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia Bagian Timur yang menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7 (tujuh) kata di belakang kata “Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tuntutan ini ditanggapi secara arif oleh para pendiri negara sehingga terjadi perubahan yang disepakati, yaitu dihapusnya 7 (tujuh) kata yang dianggap menjadi hambatan di kemudian hari dan diganti dengan istilah “Yang Maha Esa”. Dengan demikian, maka sah atau legal Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm. Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm bersifat saling mengisi antara sila-sila yang terdapat didalamnya, yaitu: Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan consensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm atau weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat pemersatu bangsa yang juga pada hakikatnya satu alat mempersatukan dalam perjuangan melenyapkan segala penyakit yang telah dilawan berpuluh-puluh tahun, yaitu terutama imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara perjuangan sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena itu, pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kenyataannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya. Dengan demikian, jika dicermati maksud norma dasar menurut Kelsen dan atau normafundamental negara menurut Nawiasky maka Pancasila merupakan norma dasar yang menginduki segala macam norma dalam tatanan norma di Indonesia. Untuk memperjelas kedudukan norma dasar dalam tatanan hukum suatu negara, Kelsen juga menjelaskan pola hubungan antar norma melalui teorinya stufenbau atau hirarkis norma. Kelsen menjelaskan hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi”. Norma yang menentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi,sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah. Artinya, Pancasila merupakan sumber sebagai sumber hukum dimana lahirnya atau sejarah pembentukan Pancasila dapat dikatakan sebagai salah satu bagian sejarah hukum di Indonesia.
Jika dicermati dalam literasi-literasi hukum yang membahas tentang aliran hukum, maka dapat ditemukan suatu pola dinamis terkait terbentuk dan eksisnya suatu aliran hukum. Terbentuknya suatu aliran hukum berawal dari adanya suatu pemikiran tentang hukum ideal yang dikemukakan oleh seseorang ataupun beberapa orang ahli hukum berdasarkan realitas dan kebutuhan sosial masyarakat dalam suatu waktu dan wilayah tertentu. Misalnya, pemikiran tentang kepastian hukum atau positivisme hukum berawal dari John Austin, seorang ahli hukum Inggris. Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan dan keburukannya.
Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara. Jadi, pemikiran Austin mengidealkan hukum sebagai perintah penguasa. Pemikiran yang melegitimasi kekuasaan absolut penguasa tersebut kemudian disempurnakan menurut kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan zaman. Pemikiran kepastian Austin yang meletakan kepastian hukum pada perintah penguasa tersebut disempurnakan (dikembangkan) oleh Hans Kelsen menjadi kepastian hukum terdapat pada segala peraturan tertulis atau legisme. Meskipun telah disempurnakan, harus diingat bahwa keberadaan suatu aliran hukum senantiasa ditentukan oleh relevansinya. Artinya, suatu aliran hukum akan tetap benar apabila sesuai dengan ruang dan waktu tertentu. Contohnya, aliran positivisme hukum akan tetap dianggap benar dan ideal untuk diterapkan di Indonesia asalkan masih relevan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Berdasarkan terbentuknya suatu aliran hukum di atas maka Pancasila layak sebagai aliran hukum.
Secara rangkaian proses terbentuknya, Pancasila dikemukakan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 kemudian disempurnakan oleh Panitia Sembilan yang menghasilkan Mukadimmah/Genlement Agreement/Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian, disempurnakan kembali dengan mencoret tujuh kata dalam rumusan sila pertama lalu ditetapkan secara final pada 18 Agustus 1945. Rangkaian proses ini sudah menunjukkan Pancasila layak sebagai suatu aliran pemikiran. Begitu pula secara prinsip relevansi atau kesesuaian dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, Pancasila sudah memenuhinya. Dengan demikian, jika Pancasila dijadikan sebagai suatu aliran hukum maka itu berarti aliran hukum yang lahir dan berkembang menurut realitas kehidupan, kebutuhan dan perkembangan bangsa Indonesia. Tujuan penting menjadikan Pancasila menjadi suatu aliran hukum tentu bukan untuk melawan aliran-aliran hukum yang masih relevan untuk diterapkan sebagai hukum positif tetapi terutama agar negara Indonesia memiliki suatu sistem hukum nasional yang jelas, utuh dan imparsial. Terutama pula, secara paradigma bernegara para pendiri negara telah memilih suatu paradigma bernegara yang tidak hanya mengacu pada tradisi hukum Barat, melainkan juga berakar pada tradisi asli bangsa Indonesia. Paradigma bernegara itu dirumuskan dengan memadukan secara paripurna 5 (lima) prinsip bernegara, yakni Ketuhanan (theisme), kemanusiaan (humanisme), kebangsaan (nasionalisme), kerakyatan (demokrasi), dan keadilan sosial (sosialisme) ke dalam suatu konsep Pancasila. Kelima prinsip Pancasila itu mengandung nilai universal, tetapi juga memiliki basis partikularitas pada tradisi bangsa Indonesia. Dimensi universalitas dan partikularitas itu menyebabkan adanya ketegangan konseptual dalam Pancasila yang menunjukkan bahwa para pendiri negara Indonesia hendak mendirikan negara-bangsa berciri modern, tetapi tetap berbasis pada tradisi bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai suatu aliran hukum tentu kelak menghilangkanpluralisme sistem hukum dalam berhukum karena semakin plural atau beragamnya hukum yang diterapkan maka semakin banyak pula kontradiksi-kontradiksi yang terjadi antarsistem hukum tersebut. Hukum Islam tidak mungkin pararel dengan common law begitu pula hukum adat tidak mungkin pararel dengan civil law. Keberagaman sistem hukum seperti inilah yang membuat hukum menjadi tidak produktif dan berakibat semakin sulitnya menggapai cita hukum Indonesia seperti kepastian, keadilan dan kemanfaatan juga kemakmuran dan kesejahteraan. Untuk itu, Pancasila harus hadir sebagai suatu aliran hukum guna mendamaikan disharmoniasasi hukum yang disebabkan oleh keberagaman hukum. Terutama pula, agar dapat mencapai cita hukum nasional Indonesia. Mendudukan Pancasila sebagai puncak peraturan perundang-undangan.
Kedudukan Pancasila sebagai puncak hirarki peraturan perundang-undangan. Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum memang telah memilikirumah hukum atau legitimasi yuridis, akan tetapi belum memiliki kedudukandalam hirarki peraturan perundang-undangan. Terkait Pancasila dalam sistem hirarki perundang-undangan, selama ini kerap terpelihara suatu pandanganyang tidak produktif bahwa Pancasila tidak etis dimasukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan karena Pancasila merupakan dasar negara sudah menjadi sumber tertib hukum. Akan tetapi, apabila merujuk pada stufenbau theory Kelsen dan Nawiasky yang mengharuskan puncak hirarki norma adalah norma dasar atau Grundnorm/Staatfundamentalnorm maka Pancasila sebagai norma dasar seharusnya berada dalam puncak tata urutan norma tersebut. Dengan demikian, tata urutan peraturan perundangundangan dari atas ke bawah menjadi sebagai berikut:
a) Pancasila;
b) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
d) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
e) Peraturan Pemerintah;
f) Peraturan Presiden;
g) Peraturan Daerah Provinsi; dan
h) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. K
Kedudukan Pancasila sebagai puncak hirarki peraturan perundang-undangan bukan bermaksud mengurangi keberadaan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara melainkan sebagai upaya untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan peraturan perundang-undangan.
Referensi:
Bo’a, Fais Yonas, Pancasila Sebagai Sumber Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional, dalam Jurnal Konstitusi Volume 15, Nomor 1, Maret 2018, Jakarta: Mahkamah Konstitusi. H
Hamidi, Jazim, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Kaelan, MS., Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2000.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Saleh, Roeslan, Penjabaran Pancasila Dan UUD 1945, Jakarta: Aksara Baru, 1979.
Soekanto, S. dan Sri Mamudji. (2001). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
IDEAPers
Komentar
Posting Komentar