Moderasi Islam Indonesia : Pengukuhan Pancasila sebagai Dasar Negara
Moderasi Islam Indonesia: Pengukuhan Pancasila sebagai Dasar Negara
Wacana Islam moderat mencuat belakangan ini, khususnya seiring ditabuhnya wacana Islam Nusantara oleh Nahdlatul Ulama. Islam moderat disebut-sebut sebagai salah satu karakteristik Islam Nusantara, yaitu Islam yang diajarkan oleh para guru periode awal, khususnya yang disebut dengan Walisongo. Mencuatnya wacana Islam moderat tersebut seiring dengan meningkatnya wacana Islam radikal dan fundamental, yang tidak hanya pada tataran wacana akademis, namun juga pada aksi. Sebuah potret keberagamaan Islam yang intoleran ekslusif dan hobi mengkafir-kafirkan kelompok lain yang tidak sefaham dengan mereka Pemahaman Islam radikal semacam ini bukan hanya tidak sesuai dengan semangat dasar Islam, namun juga bisa membahayakan keutuhan sebuah negara. Alhasil, pemahaman semacam ini akan melahirkan kecurigaan sosial yang mengancam eksistensi harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut John L. Esposito, sebagaimana yang disampaikan Zuhairi Misrawi (2010), dalam point of view global khususnya menyangkut kepentingan politik Barat, faktor menguatnya pembahasan tentang moderatisme dalam lingkup internal Islam tersebut bisa diperhatikan dari empat hal, pertama, munculnya kegelisahan dan kekhawatiran mayoritas penduduk Barat – terutama Amerika Serikat – terhadap menggeliatnya aksi radikalis dan terorisme. Dalam kaitan ini, tragedi 11 September 2001 adalah puncak dari segalanya, sehingga virus Islamofobia menyebar luas di kalangan masyarakat Barat; kedua, pandangan buruk tentang Islam merupakan dampak dari minimnya pengetahuan mereka tentang Islam secara komprehensif; ketiga, semakin kencangnya spektrum politik antara Islam dan Barat, khususnya Amerika Serikat. Dalam kaitan ini, moderatisme adalah propaganda Barat yang sengaja dibubuhkan untuk melancarkan hegemoni politis terhadap Islam. Kondisi inilah yang digambarkan oleh Samuel Huntington, dengan teori besarnya, yaitu benturan peradaban (The Clash of Civilization), dan keempat, term moderatisme mewakili kepentingan para pengamat Islam Barat yang gelisah sekaligus simpatik terhadap keberadaan Islam itu sendiri. Dalam kondisi yang demikian, para ahli kemudian beranggapan bahwa Islam Indonesia yang moderat layak dijadikan sebagai model Islam yang ideal. Azyumardi Azra (2003) menyebut bahwa Islam Indonesia sebagai “Islam with a smiling face” yang penuh dengan kolam kedamaian dan toleran. Dalam bahasa Ahmad Syafii Maarif (2009) disebut sebagai keberislaman khusus dalam bingkai keindonesiaan.
Islam moderat dalam pengertian Islam di bumi pertiwi adalah karakteristik Islam yang menjalin kesesuaian dengan konteks sosio kultur masyarakat pribumi. Islam yang menjunjung tinggi toleransi terhadap keseluruhan budaya, tradisi, dan adat lokal. Pancasila merupakan bentuk manifestasi dari moderasi Islam itu sendiri. Indonesia merupakan negeri yang multikulturalisme. Keberagaman di bumi pertiwi menjadi sebuah anugerah dan kehendak Tuhan yang patut disyukuri karena dengan keragaman itulah seseorang dapat mengambil jalan tengah dalam segala hal, khususnya dalam penetapan suatu dasar negara yang menjadi tolak ukur kehidupan bernegara. Banyak yang terjebak ke dalam paham ekstremisme karena tidak mengetahui bahwa ada kebenaran lain yang masih ditempuh. Indonesia dengan segala keragamannya yang meliputi etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama menjadikannya sebagai negara yang paling kaya akan keragaman.
Membincang Pancasila diharapkan dapat merevitalisasi semangat moderasi umat Islam Indonesia. Terlebih lagi saat ini Indonesia tengah di hadapkan dengan gempuran berbagai ideologi yang merongrong dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dan semangat yang ada dalam Pancasila. Sejak proklamasi kemerdekaan dan pengesahan Pancasila sebagai dasar negara, maka bangsa Indonesia meletekkan posisinya di antara dua ideologi kenegaraan, yaitu negara teokrasi dan negara sekuler. Indonesia merupakan negara Pancasila yang menempatkan agama sebagai spirit Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah perumusan konstitusi 1945 disepakati secara aklamasi pada tanggal 16 Juli 1945. Namun, tujuh anak kalimat dalam sila pertama menjadi bagian kontroversi bagi sebagian anggotanya, terutama kelompok minoritas. BPUPKI menghendaki sebuah konstitusi yang mencakup Indonesia raya. Soekarno mendesak agar versinya tentang nasionalisme yang bebas agama disetujui. Setelah versi nasionalisme Soekarno disepakati, pada tanggal 18 Agustus 1945 akhirnya wakil-wakil umat Islam menyetujui usul penghapusan anak kalimat tersebut dari Pancasila dan batang tubuh UUD 1945. Namun pada sila pertama, kata “Ketuhanan” diberi tambah atribut kunci, sehingga menjadi “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Dengan demikian, berakhirlah perdebatan tentang konsep ideologi.
Dari tinjauan historis tersebut dapat kita ketahui bahwa Pancasila secara esensinya lahir dari sikap moderat umat Islam saat itu, khususnya yang diwakili oleh mereka yang tergabung dalam panitia BPUPKI. Meskipun secara sosiologis masyarakat Indonesia ini banyak yang menganut agama Islam, akan tetapi Indonesia merupakan suatu negara yang multikulturalisme dan beragam keyakinan. Sikap moderat yang ditunjukkan oleh umat Islam saat itu ialah menjadikan preferensi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghilangkan formalisme agama pada kehidupan bernegara.
Zakiyuddin Baidhawy (2015) menyimpulkan bahwa negara Pancasila merupakan sudah sesuai dengan kriteria negara syari’ah. Berikut pemaparannya :
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Mahaesa ini menjadi dasar keimanan dan ketauhidan. Dalam hal ini dimensi keimanan terletak dalam keyakinan masing-masing individu. Sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 256: “tidak ada paksaan dalam beragama”. Sila pertama tersebut sekaligus menunjukkan adanya dukungan negara atas kehidupan demokrasi dalam bidang keagamaan melalui proteksi atas hak asasi beragama/berkepercayaan, dan menjamin kebebasan menjalankan ajaran-ajaran agama atau kepercayaan masing-masing pengikutnya. Hal tersebut juga relevan dengan Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 khususnya pasal 29. Implementasi sila pertama dalam pasal-pasal konstitusi juga mengandung makna bahwa negara harus menjamin tegaknya toleransi beragama yang berkeadaban.
Keragaman itu memang selalu menimbulkan perbedaan, perbedaan di bidang apapun selalu mencuatkan konflik. Jika tidak diselesaikan dengan baik, maka akan sangat berpotensi menimbulkan sikap ekstrem yang selalu membenarkan pilihan- pilihan terbatas. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan solusi yang mampu memberikan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan keagamaan, di sinilah peran sila pertama Pancasila sebagai bentuk pengejawantahan moderasi beragama dalam rangka menyelamatkan kita dari ekstremisme, intoleran, dan radikalisme.
2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Sila kedua Pancasila ini pada prinsipnya menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia merupakan bagian dari kemanusiaan universal, yang dituntut mengembangkan persaudaraan dunia berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban. Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan pada potensi akal budi dan hati nurani. Keadaban dan keadilan, menurut Islam adalah bagian inti dari risalah syari’ah Islam. Sila kedua Pancasila memberikan sebuah wiyata terkait sikap humanisme. Berdasarkan sila kedua ini, kebangsaan yang dikembangkan adalah kebangsaan yang berkeluargaan antar bangsa-bangsa bukan kebangsaan yang bersifat chauvinistik.
3. Sila Persatuan Indonesia
Sila ketiga menegaskan bahwa bangsa Indonesia merupakan Negara Kesatuan Kebangsaan. Bangsa yang memiliki kehendak untuk bersatu, memiliki persatuan perangai karena persatuan nasib. Persatuan berarti menyiratkan arti adanya keragaman, bukan berarti memaksa persamaan, yaitu Bhineka Tunggal Ika. Persatuan dalam hal ini adalah persatuan kebangsaan Indonesia yang dibentuk atas bersatunya beragam latar belakang sosial, budaya, politik, agama, suku bangsa, dan ideologi yang berada di wilayah Indonesia.
4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Sila ini menggambarkan bahwa bangsa Indoneia akan terus memelihara dan mengembangkan semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan. Sistem kerakyatan dalam bernegara dan berbangsa ini sejatinya relevan dengan pesan yang terkandung dalam ajaran agama Islam, yaitu shura yang ditegakkan dalam sistem kerakyatan untuk menampung semua unsur-unsur pembentuk demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat. Shura merupakan sebuah wadah untuk mengutarakan semua aspirasi yang kemudian dikompromikan dan berkonsensus menuju kata mufakat. Hal itu pernah dicontohkan Nabi Muhammad saw. dalam membentuk sebuah peraturan perundang-undangan di Madinah yang biasa disebut dengan Piagam Madinah. Nabi Muhammad saw. membentuk konstitusi tersebut dengan memperhatikan seluruh elemen yang tinggal di daerah Madinah supaya konstitusi tersebut tidak bersifat tendensi kepada salah satu pihak saja, akan tetapi memihak secara universal supaya terciptanya kehidupan bermasyarakat yang damai.
Dalam konteks masyarakat atau negara, shura tidak mungkin menampung semua aspirasi dari tiap kepala. Sebagai gantinya, rakyat dapat memilih wakil mereka untuk menjalankan fungsi deliberasi dalam shura. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al- Shura: 38.
5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila terakhir dari Pancasila ini merupakan suatu penegasan bahwa seyogyanya tidak ada kemiskinan dalam wilayah Indonesia. Meminjam istilah Soekarno sebagai prinsip sociale rechtvaardigheid. Sebuah persamaan, emansipasi dan partisipasi yang dikehendaki oleh bangsa bukan hanya terletak pada politik, melainkan juga di bidang perekonomian. Sementara dalam Islam, keadilan merupakan sebuah ejawantah sosial pertama dari tauhid Ketuhanan Yang Mahaesa. Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, dan matra kedaulatan rakyat. Sebagai risalah profetik, Islam secara substansinya merupaka seruan pada semua umat manusia menuju satu cita-cita kesatuan kemanusiaa tanpa membedakan latar belakang yang mereka sandang. Tak ada satupun kelompok maupun orang bahkan suatu bangsa yang dapat membanggakan diri sebagai suatu golongan yang tersindikasi istimewa di mata Tuhan.
Pancasila sebagai dasar negara memiliki landasan teologis-filosofis yang kokoh. Semuanya mengarahkan kepada hubungan secara vertikal, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan hubungan antara manusia dengan manusia. Pancasila didirikan di atas landasan tauhid supaya dapat terealisasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil kepada seluruh elemen yang ada. Secara historis rumusan butir-butir Pancasila lahir dari sikap dan pemahaman Islam Indonesia yang moderat. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi bangsa Indonesia untuk meneguhkan kembali nilai-nilai Pancasila yang mulai memudar digerus ideologi luar.
Komentar
Posting Komentar