New Normal: Promosi atau Proteksi?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera. Om Swastiastu. Namo Budhaya. Bagaimana kabar kawan-kawan? Semoga dalam keadaan sehat dan bagi yang kurang sehat lekas sehat kembali.

Kembali lagi di blog ini, kali ini saya ingin membahas sebuah diskursus perihal New Normal. New normal itu sendiri merupakan sebuah terobosan atau peranti dari pemerintah dalam menyikapi gejolak virus Covid-19 atau Corona. Namun perlu dicatat, bahwa peranti tersebut terjadi pro kontra di berbagai kalangan. Untuk itu, saya di sini berusaha untuk memberik point of view saya terhadap kebijakan New Normal tersebut.


New Normal: Promosi atau Proteksi ?

Oleh : Naufal Fawwaz Dzaki


Akhir-akhir ini dunia dikejutkan dengan munculnya sebuah wabah virus yang menjalar ke seantero bumi, tak terkecuali di Indonesia. Virus itu dikenal dengan akronim Covid-19. Wabah  ini memberikan dampak yang sangat signifikan dalam perputaran roda kehidupan manusia. Sebagaimana yang dilansir dalam kolom.tempo.co, Covid-19 menjadi sebuah realitas penyakit yang mengubah struktur atau tatanan masyarakat. Perilaku sosial berubah, begitu pun kohesi sosial. Cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat turut beradaptasi. Sejak akhir tahun 2019 hingga menjadi pandemi, dampak Covid-19 sangat luar biasa pada pelbagai sektor kehidupan di masyarakat. Berdasarkan data dari WHO tertanggal 9 Juni 2020, terdata kasus pandemi Covid-19 ada di 216 negara, 7.039.918 kasus terkonfirmasi, dan 404.396 kasus yang meninggal. Sedangkan data perkembangan pandemi Covid-19 di Indonesia berdasarkan data dari gugus tugas, terdata ada 33.076 kasus yang terinfeksi, 11.414 kasus sembuh, dan 1.923 kasus meninggal. Bahkan sampai saat ini di Indonesia terus mengalami gelombang kenaikan kurva dan masih terus ada penambahan cluster baru penyebaran Covid-19. 

Indonesia sebagai salah satu negara yang terdampak Covid-19 terus berusaha secara kontinyu untuk membuat formula yang tepat dalam menanggulangi pandemi tersebut, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar atau dikenal dengan singkatan PSBB; memberlakukan lockdown di beberapa daerah; dan lain sebagainya. Namun realita di lapangan berkata lain, formula tersebut belum  bekerja secara optimal sehingga output dan outcome yang diharapkan belum terealisasi. Justru sebaliknya, formula tersebut menuai sebuah gelombang polemik dan paradigma baru. Masyarakat banyak yang mengeluhkan kebijakan-kebijakan tersebut yang dinilai aneh dan absurd. Ditambah ada beberapa oknum pemerintah yang tertangkap basah tidak menerapkan regulasi yang mereka tetapkan. Hal itu menambah keengganan dan keogahan serta rasa skeptis masyarakat dalam menerapkan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. 

Sebagaimana yang dilansir kolom.tempo.co, menjawab situasi dan kondisi yang terjadi, maka tatanan kehidupan new normal menjadi alternatif exit strategy. Tatanan new normal merupakan transformasi perilaku hidup di masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan menerapkan protokol kesehatan sampai ditemukannya vaksin Covid-19. New normal dimaksudkan untuk memulihkan pelbagai sektor kehidupan yang mulanya mandek menjadi berjalan step by step. Justru penerapan new normal menjadi suatu polemik tersendiri atau dengan kata lain menjadi buah bibir di berbagai kalangan. Di satu sisi dianggap akan meningkatkan kurva kasus Covid-19 dan di sisi lain menjadi upaya meredam tingginya kerentanan sosial yang terjadi di masyarakat. Pandemi Covid-19 tentunya membuat absorbsi  negara menjadi berkurang. Sementara itu, negara harus menjadi payung bagi warga negaranya. Maka daripada itu, Covid-19 dianggap menjadi beban anggaran negara dengan berbagai macam program jaring pengaman sosialnya. Namun dalil tersebut tidak bisa dijadikan sebagai shield bagi negara untuk tidak bertanggung jawab terhadap warga negaranya. Sebab memang sudah semestinya kewajiban negara secara konstitusi untuk menjamin dan melindungi setiap warga negaranya dari pelbagai ancaman, salah satunya pandemi ini.

Penerapan new normal ini harus dikaji secara radikal dan komprehensif. Sebab penerapan new normal bisa menjadi pisau bermata dua, bisa menguraikan masalah dan justru bisa sebaliknya menambah masalah. Maka untuk itu pelbagai multidisiplin ilmu perlu menjadi pertimbangan pemerintah dalam menerapkan kebijakan new normal. Transisi new normal tentu akan ada cultural shock di masyarakat. Sebab kehidupan yang tidak biasa dilakukan, harus dilakukan sebagai cara hidup baru. Sarana dan prasarana mutlak disediakan. Sumber ekonomi bagi masyarakat perlu dicarikan alternatifnya. Jaring pengaman sosial harus tetap konsisten dijalankan. 

Menurut Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked,. KJ., SpKj, yang dilansir di laman Mistar.Id, dengan kondisi new normal ini terdapat dampak postif dan negatif pada masyarakat. 
“Dampak positifnya bila melihat dinamika perubahan di lapangan secara tepat, akan pembuatan kebijakan yang biasanya lama menjadi cepat karena menggunakan online meeting sehingga anggaran perjalanan dinas lebih hemat,” Ujar Elmeida yang juga ketua Departemen Psikiatri FK USU pada Mistar.id, Senin (8/6/20). Sedangkan dampak negatifnya, bila tergesa-gesa dalam pemberlakuan new normal ini, akan sangat berdampak buruk pada sektor kesehatan dan ekonomi. Dalam sektor kesehatan kasus positif Covid-19 ini akan melonjak drastis.  

Alhasil, era new normal justru lebih dominan memberikan dampak negatif yang berimbas pada melonjaknya kasus Covid-19. Indonesia mencetak rekor tersendiri dengan catatan hitam bahwa dalam sehari bisa memproduksi seribu insan yang terpapar Covid-19. Kasus Covid-19 pada Rabu, 8 Juli 2020 mengalami penambahan kasus sejumlah 1.853 kasus baru, yang berarti menambah angka kasus Covid-19 di Indonesia menjadi 68.079 kasus. Sebuah rekor yang sangat buruk, bahkan lebih tragis nya lagi, yaitu Indonesia menjadi negara dengan presentase penyebaran Covid-19 tertinggi se Asia Tenggara. Sebagaimana yang dilansir di laman Republika.co.id, bahwa dampak new normal  ternyata sesuai dengan prediksi dari para ahli epidemiologi, yakni bukannya menggenjot ekonomi, namun jumlah warga positif justru melonjak tinggi. Hal ini tentulah wajib menjadi pertimbangan keberlanjutan episode new normal ini. Jangan sampai hanya semata mementingkan perputaran ekonomi, lalu melalaikan dari pemulihan pandemi. Sehingga masyarakat seperti barang yang dipromosikan kepada virus secara bebas dan tidak terikat. 

Dalam keadaan seperti ini sangatlah penting peran pemerintah sebagai kepala dalam memberikan sebuah tauladan agar menjadi wiyata yang baik bagi masyarakatnya agar dapat mengikuti regulasi yang ditetapkan. Sebab, masyarakat akan selalu berkaca kepada pemimpinnya. Sebagai pelaksana kebijakan publik, aparatur mempunyai andil untuk menciptakan kepercayaan publik melalui kinerja cemerlangnya, pun supaya dapat terciptanya good governance. 


AKHIR

Oke, kawan-kawan mungkin itulah sudut pandang diri saya pribadi mengenai kebijakan new normal . Jika memang dari para pembaca mempunyai sudut pandang yang berbeda, tidaklah mengapa. Karena perihal diskursus ini memiliki multitafsir. Perbedaan sebuah pandangan tidak untuk dijadikan sebuah problematika yang serius, justru perbedaan itu merupakan sebuah rahmat yang dianugerahkan Tuhan kepada kita selaku makhluk-Nya.

Mungkin cukup sekian saja, sampai bertemu di tulisan selanjutnya. Silakan bagi yang ingin memberi komentar dan kritik, sangat dipersilakan. Dengan catatan tetap menjaga kode etik jurnalistik ya, kawan-kawan.

Hidup Mahasiswa!!!
Panjang Umur Perjuangan!!!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOCOR ALUS RAMADAN (BAR): HUKUM SUNTIK DAN INFUS BAGI YANG PUASA, BATALKAH?

EDISI SEJARAH : SERANGAN UMUM 1 MARET YOGYAKARTA

Refleksi Kehidupan : Menjadi Petualang di Tanah Rabbul Izzati (Perspektif Teori Konstruktivisme, Model Inkuiri)