Mengoptimalisasi Peran Kemendikbud dan Kemenkominfo serta Para Akademisi Dalam Meningkatkan Mutu Anak Bangsa di Tengah Pandemi

Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Om Swastiastu, Namo Budhaya. Kembali lagi di blog ini, untuk kesempatan kali ini saya berusaha membahas perihal Pembelajaran Jarak Jauh yang menjadi prakarsa baru di era pandemi ini. Silakan dibaca sembari ngopi hehe.



Mengoptimalisasi Peran Kemendikbud dan Kemenkominfo serta Para Akademisi  Dalam Meningkatkan Mutu Anak Bangsa di Tengah Pandemi


Dewasa ini, dunia dipertunjukkan dengan kehadiran sebuah virus yang membuat gempar dalam kurun waktu yang sangat singkat. Virus ini dikenal dengan akronim Covid-19 ataupu Corona. Dalam kemunculan virus ini, begitu banyak perspektif yang diutarakan oleh beberapa ahli, baik dilihat dari segi kesehatan, politik, dan lain sebagainya. Namun itu semua tidaklah harus dijadikan sebagai polemik yang begitu serius, yang harus kita lakukan adalah bagaimana virus itu bisa dibungkam layaknya demonstran di negeri yang penuh keditaktatoran. 


Dalam menyikapi kemunculan virus yang sangat berbahaya itu, para ahli medis bersinergi dengan para birokrat negara untuk membahas bagaimana membendung arus menjalarnya virus itu. Akhirnya, mereka menemukan titik temu dengan memprakarsai guna virus itu dapat terbendung. Muncullah diktum dari pemerintah pusat bahwa sikap yang diambil pemerintah untuk membendung virus Covid-19 ini dengan dilakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB); wajib mengenakan masker; dan social distancing. Dari diktum tersebut kelak melahirkan peranakan diktum lainnya, seperti demi terjaga nya social distancing maka pembelajaran sekolah-sekolah dilakukan dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Begitu pun dalam ranah perguruan tinggi, hal itu dilakukan semata-mata dengan tujuan mencegah penyebaran Covid-19. 




Dengan kemunculan virus ini, sangatlah merugikan berbagai macam anasir kehidupan, salah satunya dunia pendidikan. Dengan adanya pandemi Covid-19, lembaga pendidikan resmi mengganti sistem pembelajaran sebagaimana lazimnya, sesuai dengan Surat Edaran No. 4 Tahun 2020 mengenai pembelajaran secara daring. Sebagaimana yang dilansir dalam kelaspintar.id, bahwa sesuai data dari situs dapo Dikdasmen Kemendikbud terdata 220.353 sekolah dan 42.587.055 siswa yang secara otomatis akan melakukan Pembelajaran Jarak Jauh dari jenjang Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Data tersebut belum termasuk data para mahasiswa yang tak luput dari imbas adanya pandemi ini. Sudah tentu semakin banyak para penuntut ilmu yang secara otomatis belajar secara daring.   


Tindakan itu diputuskan guna membendung penyebaran Covid-19. Namun, setiap keputusan tidaklah bersifat mutlak bernilai positif, akan tetapi memiliki sisi negatifnya. Tindakan tersebut menuai pro kontra di kalangan para penuntut ilmu dan tak sedikit juga dari mereka sebaga tenaga pengajar. Sebagaimana yang dilansir dalam kelaspintar.id, bahwa sistem Pembelajaran Jarak Jauh menekankan kepada para pelajar dalam proses pembelajarannya menggunakan gawai. Hal ini menimbulkan respon yang variatif. Ada yang menyambut baik, ada yang terpaksa, dan ada pula yang kebingungan. Di Indonesia sendiri, tidak semua pembangunan infrastruktur pendidikannya merata. Mungkin sejauh ini, sekolah yang menyambut baik sistem PJJ adalah sekolah yang sudah tersindikasi dalam golongan menengah atas. Tentu sekolah-sekolah tersebut tidaklah kaget, sebab bisa jadi sekolah-sekolah itu sudah melakukannya lebih dahulu dan terbiasa sebelum adanya pandemi ini. Dukungan fasilitas, administrasi, serta latar belakang ekonomi siswa yang baik menjadi faktor sekolah tersebut tidak menemukan kendala dalam PJJ. 


Lalu bagaimana dengan sekolah-sekolah yang termasuk golongan menengah ke bawah? Tentu ini menjadi kejutan bagi mereka, sebab bisa jadi ini suatu pengalaman yang baru ditemui dalam aktivitas pembelajaran. Akibatnya, sistem PJJ akan banyak sekali menemukan hambatan. Fasilitas yang kurang memadai, administrasi, serta faktor ekonomi siswa yang kurang baik menjadikan sistem PJJ di sekolah tersebut suatu kendala yang kompleks.

 

Arif Satrio Nugroho dan Inas Widyanuratikah (2020) dalam lama m.republika.co.id, Indra Chrismiaji menilai Surat Keputusan Bersama empat menteri terkait pelaksanaan pendidikan dari segi memutus penyebaran virus Covid-19 sudah baik. Namun, banyak hal yang sangat fundamental yang harus menjadi domain Kemendikbud yaitu proses pengajaran dan pembelajaran yang sebenarnya ditunggu-tunggu oleh pihak manajemen sekolah, tenaga pendidik, peserta didik, orang tua, dan tenaga kependidikan tidak disentuh sama sekali. 


Mengacu pada Surat Edaran No. 4 tahun 2020 mengenai PJJ, guru dituntut untuk kreatif dan inovatif guna memacu semangat peserta didik dalam belajar. Meski dalam website Kemendikbud terdapat fitur panduan PJJ, tetapi sosialisasi yang kurang begitu massif mengakibatkan informasi ini tidak sepenuhnya tersampaikan kepada para tenaga didik. Hal ini tentu berdampak pada proses PJJ. Kurangnya sosialisasi membuat para tenaga didik melaksanakan PJJ dengan caranya sendiri. Jika sekolah itu bagus, tentu sekolah tersebut akan membuat regulasi khusus agar PJJ dapat dipusatkan dalam satu sistem atau portal belajar yang dibuat oleh sekolahnya. Sebaliknya, apabila sekolahnya kurang tanggap dengan hal ini, maka sekolah tersebut akan menyerahkan sistem pengajaran kepada guru bidang studi masing-masing. Pastinya hal ini menjadi celah bagi oknum guru yang kaget terhadap PJJ. Sehingga guru tersebut hanya membebani peserta didik dengan pemberian tugas setiap harinya sebagai bentuk formalitas demi mengikuti kebijakan pemerintah.Terkait PJJ ini, pemerintah seharusnya mengumpulkan para pakar dan ahli dalam pendidikan untuk memberikan pelatihan dan bimbingan kepada para tenaga didik supaya pembelajaran ini bisa berjalan dengan efisien. 


Arif Satrio Nugroho dan Inas Widyanuratikah (2020) dalam laman m.republika.co.id, indra menegaskan bahwa jangan menganggap proses belajarnya diubah melalui kebijakan, maka kualitasnya akan terjaga. Mutu pendidikan Indonesia sudah buruk, dengan kondisi pembiaran seperti ini justru akan semakin memperburuk mutu anak bangsa dan pastinya bertolak belakang dengan target pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Selain peran para tenaga pendidik, peran orang tua pun butuh dilibatkan secara aktif. Tentunya bukan untuk menggantikan posisi guru melainkan tetap dalam koridor yang orang tua yang juga merupakan sentra pendidikan yang bersifat urgen seperti ekosistem yang didesain oleh Ki Hajar Dewantara. 


Senada dengan apa yang sudah diulas di muka, Suparman selaku Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Guru Swasta Seluruh Indonesia (PGSI) mengatakan bahwa pemerintah daerah lebih baik menyediakan pembelajaran dari secara bersama-sama, seperti Google Meet atau Zoom dan melakukan pelatihan kepada guru-gurunya. Selain itu, satu pekan sekali juga bisa dilakuakan evaluasi bagi guru dan orang tua terkait PJJ ini. Hal ini sangat penting untuk dilakukan guna PJJ dapat terkoordinir oleh sekolah dengan jadwa fleksibel yang disekapakati bersama, ujar Arif Satrio Nugroho dan Inas Widyanuratikah (2020) dalam m.republika.co.id.


Sebagaimana yang dilansir kelaspintar.id, kendala lainnya adalah guru dituntut aktif untuk memotivasi siswa agar turut aktif dalam PJJ. Konsep PJJ yang menggunakan media gawai dan harus tersambung dalam jaringan, menjadi masalah yang kompleks dalam penerapannya. Kalangan siswa di sekolah yang tergolong menengah ke bawah, tidak semua memiliki telepon pintar. Ada siswa yang memiliki telepon pintar, tetapi ia tidak memiliki kuota internet. Ada siswa yang memiliki telepon pintar, tetapi digunakannya bersama dengan orang tua. Bahkan ada siswa yang tidak memiliki sama sekali telepon pintar.


Senada dengan hal di atas. Arif Satrio Nugroho dan Inas Widyanuratikah (2020) dalam laman m.republika.co.id, anggota DPD RI Fahira Idris mengatakan bahwa dengan diberlakukannya sistem PJJ maka kita harus mencari solusi bagi anak-anak yang tinggal di pelbagai daerah yang sangat sukar untuk mengakses internet dan listrik. Keterbatasan mereka harus segera diretas agar hak mereka mendapaktan pendidikan yang merupakan amanat konstitusi tetap terpenuhi.  Saat ini masih banyak sekolah-sekolah atau sataun pendidikan dan peserta didik yang memiliki hambatan untuk dapat mengimplementasikan PJJ. Mulai dari sekolah belum tersentuh listrik dan internet sampai satuan pendidikan yang sudah mendapatkan akses listrik tetapi belum dapat mengakses internet. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), 53,4 persen responden merasakan kendala terbesar sekolah adalah kesiapan sarana dan prasarana untuk penanganan Covid-19. Survei dilakukan FSGI terhadap 1.656 responden sekolah dari 245 kabupaten/kota di Indonesia mengenai kesiapan pembelajaran model PJJ. 


Raden Ridwan Hasan Saputra (2020) dalam laman republika.id, selaku Pendiri Klini Pendidikan MIPA (KPM) dan motivator suprarasional mengatakan bahwa pemerintah, khususnya Kemendikbud harus memberikan bantuan berupa kuota gratis kepada para peserta didik supaya kegiatan PJJ melalui Google Meet, Zoom, dan lain sebagainya dapat berjalan efektif. Teruntuk Kominfo pun harus mengambil tindakan bagaimana daerah-daerah terpencil dapat terjangkau soal jaringan dan lain sebagainya.


Haryanti Puspa Sari (2020) dalam laman kompas.com, Setelah melihat keluhan dari masyarakat terkait PJJ ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan, pemerintah akan memberikan subsidi kuota internet bagi siswa, guru, mahasiswa, dan dosen selama masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sebesar 9 triliun. Hal itu disampaikan Nadiem dalam rapat kerja dengan Komisi X di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/08/2020).


Dengan adanya subsidi kuota dari Kemendikbud, hal ini menjadi lampu hijau bagi para peserta didik maupun para tenaga pendidik. Hal itu memberikan sebuah gambaran bahwa birokrat negara masih peduli akan kepentingan pendidikan bagi anak bangsa yang notabennya adalah sebagai penerus bangsa ini. Akan tetapi, dengan pemberian subsidi kuota dari Kemendikbud pun tetap bahwa peserta didik harus dalam pantauan orang tua, sebab dikhawatirkan penyalahgunaan subsidi kuota yang diberikan oleh Kemendikbud. 


Dalam menanggapi polemik tersebut, sebenarnya tidak hanya Kemendikbud dan Kemenkominfo, melainkan para akademisi pun harus turut serta dalam menyikapi polemik tersebut. Sebagai kaum intelektual dan anggota masyarakat yang mempunyai nilai tambah, para akademisi harus turut mampu memperankan diri secara profesional dan proporsional di masyarakat ataupun di dunia pendidikan. Kaum akademisi memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Oleh karena itu perlu dirumuskan perihal peran, fungsi, dan posisi untuk menentukan arah perjuangan dan kontribusi kaum akademisi tersebut. Ada 4 (empat) peran penting kaum akademisi yang merupakan harapan dari masyarakan yakni peran sebagai agent of change, social control, iron stock dan moral force. Peran tersebut tentu saja untuk tidak diartikan sebagai peran berat ataupun disalah artikan yang pada ujungnya masyarakan antipati dengan kegiatan yang diselenggrakan oleh kaum akademisi. 


Habib Cahyono (2019) mengatakan bahwa ide dan pemikiran cerdas seorang akademisi mampu merubah paradigma yang berkembang dalam suatu kelompok dan menjadikannya terarah sesuai kepentingan bersama. Sikap kritis akademisi sering membuat sebuah perubahan besar dan membuat para pemimpin yang tidak berkompeten menjadi gerah dan cemas serta satu hal yang menjadi kebanggaan kaum akademis adalah semangat membara untuk melakukan sebuah perubahan. 


Seorang akademisi bukan hanya sekadar agen perubahan tapi seorang akademisi sepantasnya menjadi agen pemberdayaan setelah peubahan yang berperan dalam pembangunan fisik dan non fisik sebuah bangsa yang kemudian ditunjang dengan fungsi seorang selanjutnya yaitu social control, kontrol budaya, kontrol masyarakat, dan kontrol individu sehingga menutup celah-celah adanya kezaliman. Seorang akademisi bukan sebagai pengamat dalam peran ini, namun mahasiswa juga dituntut sebagai pelaku dalam masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri bahwa kaum akademisi merupakan bagian masyarakat. Idealnya, seorang akademisi menjadi panutan dalam masyarakat, berlandaskan dengan pengetahuannya, dengan tingkat pendidikannya, norma-norma yang berlaku disekitarnya, dan pola berfikirnya. Namun, kenyataan dilapangan berbeda dari yang diharapkan, seorang akademisi cenderung hanya mendalami ilmu-ilmu teori di bangku perkuliahan dan sedikit sekali diantaranya yang berkontak dengan masyarakat, walaupun ada sebagian akademisi yang mulai melakukan pendekatan dengan masyarakat melalui program-program pengabdian masyarakat. 


Seorang akademisi yang acuh terhadap masyarakat mengalami kerugian yang besar jika ditinjau dari segi hubungan keharmonisan dan penerapan ilmu. Dari segi keharmonisan, mahasiswa tersebut sudah menutup diri dari lingkungan sekitarnya sehingga muncul sikap apatis dan hilangnya silaturrahim seiring hilangnya harapan masyarakat kepada kaum akademisi. Dari segi penerapan ilmu, seroang akademisi yang acuh akan menyia-nyiakan ilmu yang didapat di perguruan tinggi akan terhenti dalam pergerakan dan menjadi sangat kurang kuantitas sumbangsih ilmu pada masyarakat.


Dalam keadaan pandemi seperti ini, seorang akademisi sudah semestinya memanfaatkan dengan mengoptimalkan kinerja yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Para akademisi sudah seharusnya bersinergi dengan pemerintah guna mengoptimalkan Pembelajaran Jarak Jauh ini. Sebagaimana yang sudah disinggung di muka bahwa peran akademisi dalam masyarakat itu sebagai agent of change, di mana seorang akademisi memiliki tanggung jawab untuk memanifestasikan ilmunya ke dalam masyarakat. 


Dalam keadaan yang seperti ini, seorang akademisi bisa membuat sebuah program belajar tambahan bagi mereka guna menambah wawasan mereka (para peserta didik) secara offline dengan mematuhi protokol kesehatan. Hal itu merupakan salah satu dari sekian banyak cara yang dilakukan, misalnya hal lain, yaitu membuat blogspot ataupun menulis jurnal sebagai referensi. Di era seperti ini sudah tentu sangat kekurangan dalam referensi, terutama bagi mereka yang duduk di bangku perkuliahan karena akses untuk mendapatkan referensi di perpustakaan lembaga ditutup sebagai bentuk pengurangan penyebaran Covid-19 dan tentunya mengingat di era society 5.0, bahwa hegemoni teknologi begitu masif. Di sini lah waktunya show up bagi mereka kaum akademisi untuk berperan sebagai agent of change. Ataupun bagi mereka yang memiliki bakat dalam bidang teknologi, maka manfaat teknologi sebaik mungkin. Seorang akademisi bisa membuat sebuah platform khusus belajar bagi anak-anak Indonesia, membuat sebuah video edukasi guna dipertontonkan kepada anak-anak dan masih banyak hal lainnya.


Hal itu tentu sangat berguna. Wisnu Subekti (2012) dalam laman zenius.net, sains memiliki peran penting dalam sektor pendidikan, terlebih dalam hal logika sebagai perangkat berpikir kritis. Kritis dalam berpikir adalah salah satu karakter yang diharapkan dari orang yang terdidik dengan baik. kritis bukan berarti terus-terusan skeptis terhadap informasi. Tetapi kritis berarti mengerti bagaimana suatu informasi itu dapat dievaluasi kebenarannya. Hal ini sangat penting karena sebagian besar keputusan yang kita lakukan dalam hidup kita sangat bergantung dengan informasi yang kita terima dan bagaimana kita mengolahnya.

 

Dengan adanya sinergisitas antara pemerintah dan akademisi sudah tentu membuat sistem Pembelajaran Jarak Jauh di era Pandemi Covid-19 ini berjalan secara efektif dan efisien sehingga mutu pendidikan anak bangsa tetap terjaga dan dengan harapan memberikan suatu hal yang progresif dan masif. Karena sains atau ilmu pengetahuan yang kita punya tanpa diikuti dengan perkembangan zaman sudah tentu sangat sulit dalam menonjolkannya guna mengabdi kepada masyarakat. Begitupun kemajuan teknologi harus diseimbangkan dengan sains guna terciptanya sesuatu yang jelas terarah. 


DAFTAR RUJUKAN :

1. Habib Cahyono. 2019. Peran Mahasiswa Di Masyarakat. De-Banten-Bode: Jurnal Pengabdian Masyarakat Setia Budhi, 1(1), 32-43. Diperoleh dari https://stkipsetiabudhi.e-journal.id/DeBode

2. Kelas Pintar.id. 2020. Plus-Minus Sistem Pembelajaran Jarak Jauh di Indonesia. www.google.com/amp/s/www.kelaspintar.id/blog/edutech/plus-minus-sistem-pembelajaran-jarak-jauh-di-indonesia-6166/amp/. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2020 pukul 21.19

3. Arif Satrio Nugroho dan Inas Widyanuratikah. 2020. Menunggu Solusi Minimnya Akses Pendidikan Selama Pandemi. m.republika.co.id/berita/qc0e5y328/menunggu-solusi-minimnya-akses pendidikan-selama-pandemi. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2020 pukul 20.00

4. Raden Ridwan Hasan Saputra. 2020. Solusi Pendidikan di Masa Pandemi. https://www.republika.id/posts/9196/solusi-pendidikan-di-masa-pandemi. Diakses pada tanggal 22 Oktober 2020 pukul 21.00

5. Haryanti Puspa Sari. 2020. Pemerintah Subsidi Kuota Internet Rp. 9 Triliun untuk Siswa, Mahasiswa, Guru, dan Dosen. https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2020/08/27/11222901/pemerintah-subsidi-kuota-internet-rp-9-triliun-untuk-siswa-mahasiswa-guru. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2020 pukul 22.00

6. Wisnu Subekti. 2012. Pentingya Sains Dalam Pendidikan. https://www.zenius.net/blog/139/manfaat-belajar-sains. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2020 pukul 23.00



Ya, sebagai kaum akademisi yang pintar sudah tentu berpikir secara kritis, rasional, dan komprehensif terhadap permasalahan yang ada. Perbanyakan solusi jangan banyak sekadar komentar dan kritik, itulah yg dibutuhkan negeri ini. Tulisan tersebut semata-mata hanya sebagai refleksi terhadap fenomena yang ada tanpa ada tendesi apapun. Semoga bermanfaat 🤗.


Panjang Umur Perjuangan!!!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

EDISI SEJARAH : SERANGAN UMUM 1 MARET YOGYAKARTA

Merevitalisasi Rasa Sosio-Nasionalisme Dalam Menopang Indonesia Emas 2045.

BOCOR ALUS RAMADAN (BAR): HUKUM SUNTIK DAN INFUS BAGI YANG PUASA, BATALKAH?